Selasa, 21 Oktober 2014

http://putryanna.blogspot.com/2012/02/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html

http://putryanna.blogspot.com/2012/02/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html

SEJARAH ISLAM KALIMANTAN


ISLAM DI KALIMANTAN:

PERANAN PENGUASA DAN ULAMA DALAM PENYIARAN ISLAM

Oleh: Devi Rosalina, Joko Triono, Putriana Abdulazis*

 

“Jika tidak karena pengaruh dan didikan agama Islam, maka
patriotisme bangsa Indonesia tidak akan sehebat seperti yang diperlihatkan oleh

sejarah bangsa Indonesia hingga mencapai kemerdekaan[1].”

 


A. Pendahuluan
Islamisasi massal di Asia Tenggara terjadi pada abad ke-12 ketika para guru sufi pengembara dari wilayah Arabia masuk ke asia tenggara dan memperkenalkan islam pada masyarakat lokal serta penguasa. Hasilnya, pada abad ke-13 sampai abad ke-16, mulai muncul kerajaan bercorak islam. Islam mudah diterima penduduk asli asia tenggara karena agama tersebut telah diterima oleh para pembesar kerajaan, disamping sikap islam yang mau berasimilasi dengan adat-istiadat lokal.
Kemakmuran-kerajaaan-kerajaan islam nusantara dan meningkatnya intensitas pelayaran kapal-kapal melintasi lautan hindia membuat semakin banyak orang islam yang menuntut ilmu ke arabia, khususnya ke mekah. Dengan menumpang kapal-kapal dagang yang dimiliki kesultanan-kesultanan, kebanyakan dari mereka pergi ke Hijaz untuk menunaikan ibadah haji di mekah[2].   Mereka, setelah kembali ke tanah air, berperan penting bagi perkembangan islam di asia tenggara. Berkembangnya intelektualisme pada abad ke-17 dan 18 di kawasan ini menyebabkan masa itu disebut sebagai “masa emas intelektualisme”.
Kedatangan kolonialisme Eropa di Asia Tenggara membawa pengaruh bagi perkembangan islam, baik dari segi ekonomi maupun politik. Masa itu juga mempengaruhi proses islamisasi karena masuknya kristen. Meskipun demikian, dari segi jumlah penganutnya, wilayah asia tenggara tetap merupakan wilayah konsentrasi muslim terbesar kedua di benua asia, setelah asia selatan[3].
B. Kedatangan Islam dan Perkembangannya di Kalimantan Selatan
Seperti tempat-tempat lain  di Nusantara, telaah-telaah islam di kalimantan selama ini terutama hanya memusatkan perhatian pada masalah-masalah kapan, bagaimana, dan darimana Islam memasuki wilayah ini; hampir tidak ada pembahasan mengenai pertumbuhan lembaga-lembaga islam dan tradisi keilmuan di kalangan penduduk muslimnya[4].
             Di Kalimantan Selatan pada abad XVI M masih ada beberapa kerajaan Hindu antara lain Kerajaan Banjar, Kerajaan Negaradipa, Kerajaan Kahuripan dan Kerajaan Daha[5]. Kerajaan-kerajaan ini berhubungan erat dengan Majapahit. Ketika Kerajaan Demak berdiri, para pemuka agama di Demak segera menyebarkan agama Islam ke Kalimantan Selatan. Raja Banjar Raden Samudra masuk Islam dan ganti nama dengan Suryanullah[6]. Sultan Suryanullah dengan bantuan Demak dapat mengalahkan Kerajaan Negaradipa. Setelah itu agama Islam semakin berkembang di Kalimantan. Kutai adalah kerajaan tertua di Indonesia dan sebagai kerajaan Hindu. Dengan pesatnya perkembangan Islam di Gowa, Tallo dan terutama Sombaopu, maka Islam mulai merembas ke daerah Kutai. Mengingat Kutai terletak di tepi Sungai Mahakam maka para pedagang yang lalu lalang lewat selat Makasar juga singgah di Kutai. Sebagai muballigh mereka tidak menyianyiakan waktu untuk berdakwah. Islam akhirnya dapat memasuki Kutai dan tersebar di Kalimantan Timur mulai abad XVI[7].
                 Para ulama awal yang berdakwah di Sumatera dan Jawa melahirkan kader-kader dakwah yang terus menerus mengalir.
Islam masuk ke Kalimantan atau yang lebih dikenal dengan Borneo[8] kala itu. Di pulau ini, ajaran Islam masuk dari dua pintu, yaitu
Jalur pertama yang membawa Islam masuk ke tanah Borneo adalah jalur Malaka yang dikenal sebagai Kerajaan Islam setelah Perlak dan Pasai. Jatuhnya Malaka ke tangan penjajah Portugis kian membuat dakwah semakin menyebar. Para mubaligh-mubaligh dan komunitas Islam kebanyakan mendiami pesisir Barat Kalimantan. Jalur kedua yang digunakan menyebarkan dakwah Islam adalah para mubaligh yang dikirim dari Tanah Jawa. Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini menemui puncaknya saat Kerajaan Demak[9] berdiri. Demak mengirimkan banyak mubaligh ke negeri ini. Perjalanan dakwah pula yang akhirnya melahirkan Kerajaan Islam Banjar dengan ulama-ulamanya yang besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.
Sangat mungkin sekali pemeluk Islam sudah ada sebelumnya di sekitar keraton yang dibangun di Banjarmasin, tetapi pengislaman secara massal diduga terjadi setelah raja, Pangeran Samudera yang kemudian dilantik menjadi Sultan Suriansyah, memeluk Islam diikuti warga kerabatnya, yaitu bubuhan raja-raja. Perilaku raja ini diikuti oleh elit ibukota, masing-masing disertai kelompok bubuhannya, dan oleh elit daerah, juga diikuti warga bubuhannya, dan demikianlah seterusnya sampai kepada bubuhan rakyat jelata di tingkat paling bawah.
                 Melalui hal ini, sangat dimungkinkan sekali bahwa Islam telah menjadi dasar agama dan mendarah daging di Kesultanan Banjar.
Islam berkembang sangat pesat dan memperoleh tempat yang sepantasnya di bumi Banjar.

C. Sejarah Kesultanan Banjar: Peranannya dalam Menyebarkan Islam
               Kesultanan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin adalah sebuah kerajaan Islam yang berdiri di Kalimantan Selatan. Kerajaan ini pada mulanya berpusat di Banjarmasin[10], tetapi kemudiannya berpindah ke Martapura di Kabupaten Banjar. Banjar adalah penerus kerajaan Negara Daha, sebuah kerajaan Hindu yang beribu kota di kecamatan Daha Selatan. Ketika di Banjarmasin, Kesultanan ini mendapat nama Kesultanan Banjarmasin. Ketika awal abad ke 16, Kalimantan Selatan diperintah oleh kerajaan Negara Daha. Kerajaan Negara Daha merupakan kelanjutan dari Kerajaan Negara Dipa, kerajaan Hindu yang berkedudukan di kota Amuntai, Hulu Sungai Utara.                                        Menurut Hikayat Banjar, Kerajaan ini semula dipimpin seorang Raja Puteri Junjung Buih yang kemudian menikah dengan seorang pangeran Majapahit, yaitu Pangeran Suryanata (Raden Putra). Sebelum Kerajaan Negara Dipa sudah berdiri sebelumnya Kerajaan Tanjung Puri, yang berada di kota Tanjung, Tabalong yang didirikan suku Melayu dan Kerajaan Nan Sarunai yang didirikan suku Dayak Maanyan di lembah sungai Tabalong. Kerajaan Nan Sarunai masih merupakan kerajaan satu etnik tertentu saja (Maanyan), sedangkan Kerajaan Negara Dipa merupakan kerajaan multi-etnik pertama di daerah ini
                Di daerah-daerah taklukkanya, sebuah pajak atau cukai haruslah dibayar oleh kerajaan daerah itu kepada raja Daha.
Ini menyebabakan daerah Banjarmasin berkeinginan untuk keluar daripada pengaruh Daha. Ketua daerah Banjarmasin, Patih Masih, kemudiannya berbincang dengan ketua daerah lain iaitu Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung dan Patih Kuwin untuk memerdekakan daerah mereka daripada kerajaan Daha. Mereka kemudiannya berpakat untuk meminta tolong daripada Raden Samudera, seorang cucu Maharaja Sukarama; seorang raja Daha. Raden Samudera ketika itu sedang dalam penyembunyian di daerah Muara Barito kerana ancaman bapa saudaranya, Pangeran Tumenggung yang ketika itu adalah raja Daha. Dibawah pimpinan Raden Samudera, tercetuslah pemberontakan Banjar ini dengan bantuan Kesultanan Demak dari Jawa.
                   Setelah berjaya menumpaskan kerajaan Daha, Raden Samudera memeluk Islam dan memakai gelaran Sultan Suriansyah dan dimahkotakan sebagai sultan Banjar pertama[11]. Sultan ini juga digelari Panembahan Batu Habang atau Susuhunan Batu Habang, yang dinamakan berdasarkan warna merah (habang) pada batu yang menutupi makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah di kecamatan Banjarmasin Utara, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Raden Samudera adalah putera dari Puteri Galuh (Ratu Intan Sari) puteri dari Maharaja Sukarama dari Kerajaan Negara Daha. Nama "Suriansyah" sering dipakai sebagai nama anak laki-laki suku Banjar atau orang Melayu-Kalimantan.
                      Kemenangan Raden Samudera atas Pangeran Tumenggung pada abad XVI merupakan suatu perwujudan terjadinya pergeseran politik dari negara yang ekonominya berbasiskan agraris (Daha) kepada negara yang bersifat maritim[12], dan Islam dijadikan sebagai agama negara. Sebenarnya Demak memang secara politis merasa berkepentingan untuk membantunya sebab dari segi strategi kerjasama dengan Banjarmasin akan dapat membendung ekspansi Portugis yang dengan perlengkapan perangnya berusaha menempatkan kekuasaannya antara Malaka sampai ke Maluku. Ulama yang mendampingi Raden samudra yang bergelar Suryanullah atau Suryansyah adalah ulama dari demak yang dikenal dengan sebutan Khatib Dayan[13].  Penyebaran Islam di daerah ini rupanya tidak disertai dengan usaha menyebarkan pengetahuan keislaman kepada rakyat jelata sampai kehadiran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari kembali ke Makkah pada tahun 1772. Penyebaran Islam di daerah Banjar diteruskan ke Sukadana juga pada tahun 1550.
                     Sejarah Banjarmasin mulai dari sultan suryansyah dan selanjutnya pada masa pra-kolonial dipenuhi oleh pertentangan yang kronis, terutama diantara anggota-anggota keluarga raja. Kebencian, iri hati, ketamakan, dan lapar kekuasaan yang mendorong terbentuknya persekongkolan-persekongkolan politik merupakan sebab-sebab terjadinya friksi, pembunuhan manusia, atau pembunuhan kepala negara yang dilakukan oleh pengikut raja-raja sendiri sendiri yang berlangsung tanpa sanksi hukuman[14]. Konflik semacam ini umumnya berlangsung diantara kemenakan dan paman, saudara-saudara tiri, atau bahkan diantara saudara sekandung. Pangeran samudera vs pangeran temenggung pada abad ke-16.  pangeran Amir melawan Panembahan Nata pada abad ke-18, Pangeran Hidayatullah berseteru dengan Pangeran Tamjidillah pada abad ke-19 adalah beberapa contoh dari pergulatan-pergulatan semacam itu. Sebagian besar dari konflik itu mengundang campur tangan asing yang akan menangguk di air keruh.

                   Kerajaan Banjar yang berkembang sampai abad ke-19 merupakan sebuah kerajaan Islam merdeka dengan nation atau bangsa Banjar sebagai bangsa dari Kerajaan Banjar.
Pada akhir abad ke-19 ekspansi kolonial Belanda berhasil menguasai Kerajaan Banjar dan secara sepihak mengumumkan Proklamasi Penghapusan Kerajaan Banjarmasin pada tanggal 11 Juni 1860. Wilayah kerajaan yang berhasil dikuasainya dijadikan Karesidenan Afdelling Selatan dan Timur Borneo (Residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo). Sejak itulah bangsa Banjar turun derajatnya menjadi bangsa jajahan. Mereka tidak lagi disebut sebagai suatu nation akan tetapi hanya sebagai Urang Banjar.
                 Dalam perkembangan sejarah berikutnya pada Tahun 1859 seorang Bangsawan Banjar yaitu Pangeran Antasari[15] mengerahkan rakyat Kalimantan Selatan untuk melakukan perlawanan terhadap kaum kolonialisme Belanda meskipun akhirnya pada Tahun 1905 perlawanan-perlawanan berhasil ditumpas oleh Belanda[16]. Pada periode pasca Proklamasi Kemerdekaan merupakan momentum yang paling heroik dalam sejarah Kalimantan Selatan, dimana pada tanggal 16 Oktober 1945 dibentuk Badan Perjuangan yang paling radikal yaitu Badan Pemuda Republik Indonesia Kalimantan (BPRIK) yang dipimpin oleh Hadhariyah M. dan A. Ruslan, namun dalam perjalanan selanjutnya gerakan perjuangan ini mengalami hambatan, terutama dengan disepakatinya perjanjian Linggarjati pada tanggal 15 Nopember 1945. Berdasarkan perjanjian ini ruang gerak pemerintah Republik Indonesia menjadi terbatas hanya pada kawasan Pulau Jawa, Madura dan Sumatera sehingga organisasi-organisasi perjuangan di Kalimantan Selatan kehilangan kontak dengan Jakarta, kendati akhirnya pada tahun 1950 menyusul pembubaran Negara Indonesia Timur yang dibentuk oleh kaum kolonial Belanda, maka Kalimantan Selatan kembali menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Republik Indonesia sampai saat ini.
D. Peranan Ulama dan Pembentukan Tradisi Intelektual di Kalimantan Selatan
Tradisi intelektual umumnya mengacu kepada proses transmisi keislaman, pmbentukan wacana intelektual, yang alam proses selanjutnya menjadi tradisi yang dikembangkan dan dipelihara secara terus-menerus[17]
Ulama menduduki posisi utama, bukan saja dalam bidang keagamaan tetapi juga dalam bidang sosial-politik dan budaya. Dalam bidang keagamaan, ulama adalah penafsir yang sah atas ajaran islam dan selanjutnya menentukan corak keagamaan suatu masyarakat. Dalam bidang sosial-politik dan budaya, ulama merupakan elit sosial, kedudukan yang disandangnya sejalan dengan perannya di bidang keagamaan. Selain memainkan peran seperti diatas, mereka juga adalah pemimpin lembaga sosial keagamaan, seperti pesantren, surau, dan tarekat. Dengan semua peran ini ulama memainkan pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat islam[18].
1)      Muhammad Arsyad Al-Banjari (Riwayat Hidup dan Pemikirannya)
Muhammad arsyad al-banjari[19](1122-1227/1710-1812) merupakan ulama pertama yang mendirikan lembaga-lembaga islam serta memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru di kalimantan selatan.
Muhammad arsyad al-banjari dilahirkan di Martapura, Kalimantan Selatan, Muhammad ’Arsyad mendapatkan pendidikan dasar keagamaannya di desanya sendiri, dari ayahnya dan para guru setempat, sebab tidak ada bukti bahwa atau pesantren telah berdiri pada masa itu di wilayah tersebut. Ketika dia berumur tujuh tahun, dia diriwayatkan bahwa dia telah mampu membaca Al-Qur’an secara sempurna. Dia menjadi terkenal karena hal ini, sehingga mendorong sultan Tahlilullah (1112-58/1700-45) untuk mengajaknya beserta keluarganya tinggal di istana sultan. Di kemudian hari, sultan menikahkannya dengan seorang wanita; tetapi ketika istrinya mengandung, dia mengirim Muhammad Arsyad ke Haramayn guna menuntut ilmu lebih lanjut atas biaya Kesultanan. Sultan tampaknya mengongkosinya dengan murah hati; Muhammad Arsyad bahkan mampu membeli sebuah rumah di daerah Syamiyah, Makkah, yang masih dipertahankan para imigran Banjar sampai waktu belakangan ini[20]. Guru-guru muhammad arsyad yang dikenal adalah al-sammani, al-damanhuri, slayman al-kurdi, dan atha athaillah al-mashri. Ada kemungkinan dia belajar dengan guru-guru lain, terutama dengan ibrahim al-rais al-zamzami, yang darinya muhammad arsyad boleh jadi mempelajari ilm al-falak (astronomi), bidang yang menjadikannay salah seorang ahli paling menonjol diantara para ulama melayu-indonesia.
Mempertimbangkan karya-karya dan kegiatan-kegiatanya setelah kembali ke nusantara, kita dapat berasumsi bahwa muhammad arsyad adalah seorang ahli dalah bidang fiqih atau syariat, terutama adanya fatwa bahwa bukunya yang paling termasyhur, yang berjudul sabil al-muhtadin adalah buku fikih. Tetapi, ini tidak lantas berarti, dia tidak menguasai tasawuf; diketahui bahwa dia juga menulis sebuah karya berjudul kanz al-ma’rifah, yang membahas tentang tasawuf. Jadi, muhammad arsyad mendapatkan keahlian dalam ilmu lahir (al-zhahir) maupun ilmu batin (al-bathin), atau seperti ditulis steenbrink, dia telah menguasai fikih dan tasawuf[21]. muhammad arsyad menerima tarekat sammaniyah dari al-sammani, dan dia dianggap sebagai ulama paling bertanggung jawab atas tersebarnya tarekat sammaniyah di kalimantan.
Muhammad arsyad belajar sekitar tiga puluh tahun di makkah dan lima puluh tahun di madinah bersama beberapa murid melayu indonesia lainnya. Beberapa tahun sebelum dia kembali ke nusantara, diriwayatkan dia mulai mengajar murid-murid di masjidil haram, makkah. Namun, muhammad arsyad merasakan belum mendapatkan pengetahuan yang memadai. Bersama dengan al-palimbani, abd al-rahman al-batawi, dan abdul wahhab al-bugisi, dia meminta izin guru mereka, athaillah al-mashri, untuk menambah pengetahuan di kairo. Meski menghargai niat baik mereka, athailah menyarankan jauh lebih baik bagi mereka kembali ke nusantara, sebab dia percaya mereka telah memiliki pengetahuan yang lebih dari cukup, yang dapat mereka mamfaatkan untuk mengajar di tanah air mereka. Bagaimanapun, mereka tetap memutuskan pergi ke kairo, tetapi hanya untuk berkunjung, dan bukan untuk belajar[22]. Muhammad arsyad mempertahankan kontak dan komunikasi secara terus-menerus dengan tanah airnya sementara dia berada di haramayn, sehingga dia selalu mendapatkan informasi tentang perkembangan islam di sana. Dalam hubungan ini, Sang sultan, dia mendengar, menerapkan hukuman denda yang berat kepada rakyat muslimnya yang tidak menjalankan shalat jum’at secara berjamaah. dia diriwayatkan meminta pendapat gurunya, sulayman al-kurdi, mengenai beberapa pajakkebijaksanaan agama sultan banjar. Muhammad arsyad juga meminta sulayman al-kurdi menjelaskan perbedaan antara zakah dengan pajak, sebab sulan banjar telah mewajibkan penduduk membayar pajak dan bukannya zakah[23]. sayang sekali, kita tidak mendapatkan informasi mengenai tanggapan sulayman al-kurdi atas pertanyaan-pertanyaan ini, tetapi riwayat ini mencerminkan perhatian besar muhammad arsyad terhadap penerapan yang benar atas ajaran-ajaran syariat.
 Muhammad arsyad bersama abd al-rahman al-batawi al-mashri dan abd al-wahhab al-bugisi kembali ke nusantara pada 1186/1773. sebelum dia pergi ke banjarmasin, atas permintaan al-batawi, muhammad arsyad tinggal di batavia selama dua bulan. Meski dia tinggal di batavia hanya dalam waktu yang relatif singkat, dia mampu melancarkan pembaruan penting bagi kaum muslim batavia. Dia membetulkan arah kiblah beberapa mesjid di batavia. Menurut perhitungannya, qiblah di mesjid-mesjid di jembatan lima dan pekojan, batavia, tidak diarahkan secara benar menuju ka’bah dan, karenanya, harus diubah. Ini menimbulkan kontroversi di kalangan para pemimpin muslim di batavia, dan akibatnya gubernur jendral belanda memanggil muhammad arsyad untuk menjelaskan masalah itu. Sang gubernur,  yang terkesan akan perhitungan matematis muhammad arsyad, dengan senang hati memberinya beberapa hadiah[24].
Semangat pembaruan dalam pribadi muhammad arsyad untuk memperkenalkan gagasan-gagasan dan lembaga-lembaga keagamaan yang baru juga tampak jelas setelah dia kembali ke martapura, kalimantan selatan. Salah satu hal pertama yang dilakukannya setelah kedatangannya adalah mendirikan lembaga pendidikan islam yang sangat penting untuk mendidik kaum muslim guna meningkatkan pemahamann mereka atas ajaran-ajaran dan praktik-praktik islam.  Untuk tujuan itu, muhammad arsyad meminta sultan tahmid allah II (1187-1223/1773-1808) memberinya sebidang besar tanah tak terpakai di luar ibukota kesultanan. Dia dan abd wahab al-bugisi, yang kini menikah dengan putri muhammad arsyad, membangun sebuah pusat pendidikan islam, yang serupa ciri-cirinya dengan surau di sumatra barat atau pesantren di jawa. Sepeti kebanyakan surau dan pesantren, pusat pengetahuan muhammad arsyad terdiri atas ruangan-ruangan untuk kuliah, pondokan para murid, rumah para guru, dan perpustakaan. Pusat ini secara ekonomis dapat membiayai dirinya sendiri, sebab muhammad arsyad bersama dengan beberapa guru dan murid mengolah tanah di lingkungan itu menjadi sawah dan kebun kebun sayuran. Tak lama kemudian, pusat itu telah menjadikan dirinya sebagai locus paling penting untuk melatih para murid yang kemudian hari menjadi ulama terkemuka di kalangan masyarakat di kalimantan[25]. Muhammad arsyad mengambil langkah penting lain untuk menguatkan islamisasi di wilayahnya dengan jalan memperbarui administrasi keadilan di kesultanan banjar. Di samping menjadikan doktrin-doktrin  hukum islam sebagai acuan terpenting dalam pengadilan kriminal, muhammad arsyad, dengan dukungan sultan, mendirikan pengadilan islam terpisah untuk mengurus masalah-masalah hukum sipil murni. Dia juga memprakarsai diperkenalkannya jabatan mufti, yang bertanggungjawab mengeluarkan fatwa-fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan dan sosial[26]. Dengan prakarsa ini, Muhammad Arsyad berusaha menjalankan hukum islam di wilayah kekuasaan kesultanan banjar. 
Karya[27] utama Muhammad Arsyad adalah sabil al-nuhtadin li al-tafaqquh fi ’amr al-din yang merupakan salah satu karya utama dalam bidang fiqih dunia melayu setelah diselesaikannya al-shirat al-mustaqim oleh ar-raniri dan mir’at al-thullab oleh al-sinkili. Sebagaimana dinyatakan muhammad arsyad dalam catatan pendahulunnya, dia mulai menulis al-shirat al-mustaqim pada 1139/1779 atas permintaan sultan tahmidillah. Karya ini diselesaikan pada 1195/1781. dia terbagi atas dua jilid, terdiri atas sekitar lima ratus halaman. Kitab ini membahas aturan-aturan rinci aspek ibadah (ritual) dalam fikih.pada dasarnya karya itu merupakan penjelasan, atau sampai batas tertentu adalah revisi, atas karya al-raniri al-shirat al-mustaqim yang menggunakan banyak istilah dalam bahasa aceh yang hampir tidak dapat dipahami para ulama dan masyarakat  melayu-indonesia di wilayah-wilayah laindi nusantara[28]. Sabil Al-Muhtadin, yang dicetak beberapa kali di Makkah, Kairo, Istambul dan beberapa tempat di Nusantara, sangat populer di kalangan Melayu-Indonesia, dan masih digunakan di banyak wilayah di Nusantara. Kepopuleran tulisan Muhammad Arsyad menunjukkan, bahwa karya-karya yang menjelaskan ajaran-ajaran hukum Islam benar-benar dibutuhkan kaum muslim Melayu Indonesia  sebagai petunjuk praktis dalam kehidupan mereka sehari-hari. Ini juga menunjukkan kenyataan bahwa kaum muslim di nusantara mempunyai minat sangat besar pada hukum islam dan tidak hanya tertarik pada mistisisme Islam, sebagai diasumsikan beberapa sarjana[29].

Beliau meninggal dunia pada malam Selasa yaitu di antara waktu Maghrib dan Isyak, pada 6 Syawal 1227 Hijrah bersamaan 13 Oktober 1812 Masehi. Beliau meninggal dunia pada usia 105 tahun dengan meninggalkan sumbangan yang besar terhadap masyarakat Islam di Nusantara
    2). Abdul Wahhab Al-Bugisi
Syekh Abdul Wahab bertemu dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di Madinah, dalam majelis ilmu gurunya (yang kemudian juga menjadi guru Syekh Muhammad Arsyad), Syekhul Islam, Imamul Haramain Alimul Allamah Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi[30]. Jika Syekh Muhammad Arsyad (dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani) lebih banyak menggunakan waktu mereka untuk menuntut ilmu di kota Mekkah (selama 30 tahun) dan Madinah (selama 5 tahun), maka Abdul Wahab (bersama dengan Syekh Abdurrahman Misri) lebih banyak memanfaatkan waktu mereka untuk menuntut ilmu di Mesir.
Kedatangan Abdul Wahab ke Tanah Banjar seiring dengan kepulangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari setelah menuntut ilmu di Mekkah dan Madinah selama lebih kurang 35 tahun, yakni pada tahun 1772 M. Pada saat itu yang memerintah di kerajaan Banjar adalah Pangeran Nata Dilaga bin Sultan Tamjidullah, sebagai wali putera mendiang Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah (1761-1787 M), yang kemudian sejak tahun 1781-1801 secara resmi memerintah sebagai raja Banjar dan bergelar Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah.
               Abdul Wahab mengikuti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari setelah dinikahkan dengan Syarifah[31]. Tekad Abdul Wahab[32] yang bulat untuk memperjuangkan dakwah Islam dan mengamalkan ilmu yang telah didapat ketika belajar di Mesir dan di Madinah, serta ikrar yang ia ucapkan bersama teman-temannya tatkala ingin kembali ke tanah air, semakin menguatkan keinginannya untuk mengabdikan ilmu dan baktinya di Tanah Banjar.
               Perjuangan utama Abdul Wahab Di Tanah Banjar sendiri adalah membantu Syekh Muhammad Arsyad mendakwahkan Islam di wilayah kerajaan Banjar yang waktu itu belum begitu berkembang. Mulai dari mengajarkan Islam kepada keluarga kerajaan, mendidik kader-kader dakwah, sampai dengan membangun desa Dalam Pagar, yang kemudian berkembang menjadi pusat penyebaran dan pengajaran Islam di Kalimantan.
              Pertama, mengajarkan agama Islam kepada kaum bangsawan dan keluarga kerajaan Banjar. Hal ini terlihat dari awal kedatangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Abdul Wahab Bugis di tanah Banjar (Martapura) pada bulan Ramadhan tahun 1208 H/1772 M yang disambut meriah oleh seluruh komponen masyarakat Banjar, tidak hanya masyarakat biasa akan tetapi juga kaum bangsawan dari kerajaan Banjar. Mengingat Syekh Muhammad Arsyad sendiri sudah dianggap dan diakui sebagai bubuhan kerajaan, terlebih-lebih lagi manakala mengetahui status Abdul Wahab yang juga seorang bangsawan, sehingga oleh pihak kerajaan ia diberikan tempat untuk tinggal dalam istana. Menjadi guru agama di Istana dan mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada bubuhan kerajaan.
               Kedua, membantu Syekh Muhammad Arsyad membuka perkampungan Dalam Pagar yang telah dihadiahkan oleh kerajaan Banjar kepada beliau sebagai tanah lungguh. Mengingat tekad kuat dan ikrar setia yang disampaikan oleh Abdul Wahab untuk mensyiarkan agama Islam di tanah air, sesuai dengan pesan guru mereka ketika masih di kota Madinah, ia juga aktif mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat luas yang datang berbondong-bondong ke Dalam Pagar yang sudah dikenal dan menjadi pusat pendidikan serta penyiaran agama Islam pada masa itu.
Ketiga, Abdul Wahab merupakan teman diskusi atau mudzakarah agama Syekh Muhammad Arsyad. Hal ini terlihat dari adanya istilah-istilah tertentu dalam Bahasa Bugis –walaupun dalam jumlah yang sangat kecil, dan untuk hal ini lebih jauh perlu dilakukan penelitian dan pengkajian kembali melalui pendekatan Linguistik– pada penulisan dan penyusunan risalah atau kitab-kitab yang ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, terutama Kitab Sabilal Muhtadin[33].
                Keempat, untuk mendidik dan membina kader-kader penerus dakwah Islam, Syekh Muhammad Arsyad telah membuka daerah Dalam Pagar, mendirikan surau, rumah tempat tinggal sekaligus mandarasah yang menjadi tempat untuk belajar masyarakat, mengkaji dan menimba ilmu, sekaligus tempat untuk mendidik kader-kader dakwah. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari bersama Abdul Wahab telah membangun sebuah pusat pendidikan Islam yang serupa ciri-cirinya dengan surau di Padang Sumatera Barat, rangkang, meunasah dan dayah di Aceh, atau pesantren di Jawa[34].
               Perkembangan dakwah Islam yang begitu menggembirakan, pada akhirnya memicu simpatik Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidillah untuk memberikan keleluasaan kepada Syekh Muhammad Arsyad untuk lebih memantapkan dan mengembangkan Islam di Tanah Banjar secara melembaga, agar agama Islam benar-benar menjadi way of life, keyakinan dan pegangan masyarakat Banjar khususnya, dan Kalimantan umumnya.
                Sultan Banjar berkeinginan pula untuk menertibkan dan menyempurnakan peraturan yang telah dibuat berdasarkan hukum Islam, wadah atau badan yang menjaga agar kemurnian hukum dapat diterapkan, dan yang lebih penting lagi adalah agar roda pemerintahan di kerajaan benar-benar dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan tuntunan agama. Sehingga bermula dari sinilah kemudian timbul lembaga-lembaga dan jabatan-jabatan keislaman dalam pemerintahan, semacam Mahkamah Syar’iyah, yakni Mufti dan Qadli[35].
            
                Di samping alasan-alasan di atas yang mendasari aktivitas dan perjuangan dakwah Abdul Wahab di Tanah Banjar, sebagai seorang ulama yang alim, ahli Ilmu Fikih dan menguasai Ilmu Tasawuf, menurut asumsi penulis Abdul Wahab juga salah seorang ulama penyebar tarekat Sammaniyah (Pembahasan tentang peranan Syekh Abdul Wahab Bugis sebagai salah seorang pembawa dan penyebar tarekat Sammaniyah yang bercorak Khalwatiyah, di samping Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Syekh Muhammad Nafis al-Banjari lebih jauh dapat dilihat dalam tulisan saya yang berjudul: “Melacak Jejak Pembawa Tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar”, Jurnal Khazanah, Volume II Nomor 05, September-Oktober 2003). Sehingga dalam konteks ini memungkinkan sekali jika ia menggunakan pendekatan dakwah sufistik dalam aktivitas dakwahnya, di samping pendekatan dakwah syariah[36].
                 Sayangnya, perjuangan dakwah Abdul Wahab tidak begitu panjang, ia meninggal terlebih dahulu dan lebih muda setelah sekian lama berjuang bahu-membahu mendakwahkan Islam bersama dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yakni lebih kurang 10-15 tahunan[37].
 2). Muhammad Nafis Al-Banjari
             Muhammad nafis lahir pada 1148/1735 di martapura dari keluarga bangsawan banjar. Jadi, dia hidup pada periode yang sama dengan muhammad arsyad. Tidak ada catatan mengenai kematiannya, meski diketahui dia meninggal dunia dan dikuburkan di kelua, sebuah desa kira-kira 125 km di banjarmasin. Pendidikan awal muhammad nafis tidak begitu jelas, tetapi kemungkinan besar dia diajari mengenai prinsip-prinsip dasar islam di wilayah tempat tinggalnya sendiri. Di kemudian hari, kita dapati dia belajar di makkah, sebagaimana dia tuliskan dalam catatan pendahuluan bagi karyanya al-durr al-nafis:”...dia yang menulis rislah ini... yaitu muhammad nafis b. Idrus b. Al-husayn, yang dilahirkan di banjar da hidup di makkah.”(muhammad nafis al-banjari, al-durr al-nafis, dikutip dalam abdullah, ”syekh muhammad belajar bersama al-palimbani, muhammad arsyad, dan rekan-rekan mereka yang telah dikemukakan sebelumnya, tetapi besar kemungkinan masa belajar muhammad nafis di haramayn bersamaan dengan masa belajar al-palimbani dan rekannya yang lain. Karena itu, saya menduga, mereka belajar bersama pada satu atau lain masa, terutama jika kita pertimbangkan daftar guru-guru muhammad nafis.
Muhammad nafis di berbagai tempat dalam al-durr al-nafis menyatakan belajar dengan sejumlah ulama di haramayn, yang paling terkenal diantaranya adalah al-sammani, muhammad al-jawhari, abdullah b.hijazi al-syarqawi, muhammad siddiq b.umar khan, dan abd al-rahman b.abd al-aziz al-maghribi. Muhammad siddiq b.umar khan adalah murid al-sammani, dan abdul aziz al maghribi, dan kelihatan dia merupakan kawan dekat al-palimbani.
Muhammad nafis al-banjari, seperti kebanyakan ulama melayu-indonesia, mengikuti mazhab syafi’i  dan doktrin teologi asy’ari. Dia berafiliasi dengan beberapa tarekat: Qadiriyah, Syathariyah, sammaniyah, naqsyabandiyah, dan Khalwatiyah[38]. muhammad nafis adalah ahli kalam dan tasawuf. Karyanya, DurrAl-Nafis[39], menekankan transendensi mutlak dan keesaan Tuhan, menolak pandangan jabariyah yang mempertahankan determinisme fatalistik yang bertentangan dengan kehendak  bebas (Qadariyah). Menurut pendapat muhammad nafis, kaum muslim harus berjuang mencapai kehidupan yang lebih baik dengan jalan melakukan perbuatan-perbuatan baik dan menghindari kejahatan.jadi, muhammad nafis jelas adalah pendukung aktivisme, salah satu ciri dasar neo-sufisme yang telah dibahas di muka. Dengan tekanan kuat pada aktivisme muslim, tidak mengherankan, bukunya dilarang  belanda, karena dikhawatirkan akan mendorong kaum muslim melancarkan jihad[40].
Tidak ada informasi mengenai kapan Muhammad Nafis Al-Banjari kembali ke nusantara. Tampaknya, dia pergi langsung  ke kalimantan. Berbeda dengan muhammad arsyad, yang merintis pusat pendidikan islam, muhammad nafis mencurahkan dirinya dalam usaha melanjutkan penyebaran islam di wilayah pedalaman kalimantan selatan. Dia benar-benar seorang guru sufi kelana yang khas, yang memainkan peranan penting dalam mengembangkan islam di kalimantan[41].
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan.
Azra, Azyumardi. 2000. Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Jakarta: Rosda.
Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat : Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1999.
Daudi, Abu. 1996. Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Tuan Haji Besar. Martapura: Sekretariat Madrasah Sullamul Ulum Dalam Pagar.
Departemen Agama RI. 1999. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Helmiati. 2008. Dinamika Islam Asia Tenggara. Pekanbaru: Suska Press.
Muljana, Slamet. 2009. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Islam Di Nusantara. Yogyakarta: LKIS.
Su’ud, Abu. 2003. Islamologi Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Sjamsuddin, Helius. 2001. Pegustian dan Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis, dan Dinasti.Jakarta: Balai Pustaka.
Tim Penulis Iain Syarif Hidayatullah. 2002. Ensiklopedi islam. jilid I. Jakarta: Djambatan.
Poesponegoro, Marwati Djoened. 1984. sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.
http://faktaandalusia.wordpress.com/2007/08/09/sejarah-awal-islam-kalimantan
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Banjar
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Banjarmasin
http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Arsyad_al-Banjari_bin_Abdullah_Al -Aidrus
http://tarbiyyahibnumasran.blogspot.com/2007/06/mengenali-tokoh-ulama-banjar.html






* .  Penulis adalah mahasiswa/i Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Qasim Riau 
[1] .Dr. Setia Budi (E.F.E. Douwes Dekker 1879-1952), dalam salah satu ceramahnya di Yogyakarta menjelang akhir hayatnya. http. Wikwpedia.org.
[2] . kehadiran para jemaah haji dari nusantara ini dilaporkan pertama kali dalam catatan perjalanan seorang muslim dan berhasil memasuki makkah dan madinah pada tahun 910 H/1504 M. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, jilid 5.  hal. 13.
[3] . Wilayah Asia Selatan Meliputi India Selatan Dan Utara, Pakistan, Bangladesh, Dan Sri Langka. Taufik Abdullah,dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Faktaneka dan Indeks, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002). Hal. 11-12.
[4] . Azyumardi Azra Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 1994,hal 314.
[5] . Kerajaan Negara Daha adalah sebuah kerajaan Hindu (Syiwa-Buddha)yang pernah berdiri di Kalimantan Selatan. Pusat ibukota kerajaan ini semula berada di kota Negara (kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan) dan terakhir di Marampiau (kecamatan Candi Laras Selatan, Tapin) berdekatan dengan lokasi situs Candi Laras, sedangkan Bandar perdagangan berada di Bandar Muara Bahan (sekarang kota Marabahan, Barito Kuala). Kerajaan Negara Daha merupakan kelanjutan dari Kerajaan Negara Dipa yang berkedudukan di Candi Agung, kota Amuntai, Hulu Sungai Utara. Yang terletak di sekitar percabangan sungai Bahan (sungai Negara) yang bercabang menjadi sungai Tabalong dan sungai Balangan dan sekitar sungai Pamintangan (sungai kecil anak sungai Negara). Untuk menghindari bala bencana ibukota kerajaan dipindahkan ke arah hilir sungai Negara (sungai Bahan) sehingga disebut dengan nama yang baru sesuai letak ibukotanya ketika dipindahkan yaitu Kerajaan Negara Daha, Sesuai Tutur Candi (Hikayat Banjar versi II)
[6] . Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis, dan Dinasti. (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hal. 20.
[7] . Pengislaman di kalimantan selatan dikatakan dalam berita portugis, terjadi pada sekitar tahun 1550 M. Sejak dahulu daerah kalimantan selatan sudah lama berhubungan dengan pedagang dari jawa terutama dengan kerajaan demak, yang sudah menjadi Islam. (Lihat Prof. Dr.Abu su’ud, Islamologi; sejarah, ajaran da peranannya dalam peradaban umat manusi, (Rineka cipta, 2003) hal 135.
[8] . Borneo adalah nama alternatif untuk Kalimantan. Seringkali istilah ini dipakai untuk merujuk pulau "Borneo" atau "Kalimantan" secara keseluruhan. Sedangkan kata "Kalimantan" yang sebagian besarnya merupakan bekas wilayah Kerajaan Banjar hanya dipakai untuk merujuk ke bagian Indonesia. Sedangkan bahagian keseluruhan berikut Sabah, Sarawak dan Brunei disebut "Borneo". Pulau "Borneo" merupakan yang terbesar ketiga di dunia. Dan merupakan satu-satunya pulau di dunia yang terbagi kedalam 3 negara. Kata "Borneo" secara etimologis berasal dari kata Brunei, kerajaan yang pernah memerintah sebagian besar wilayah utara pulau ini (Sabah, Sarawak), meskipun sekarang hanya menguasai daerah sangat kecil saja
[9] . Kesultanan Demak, adalah kesultanan Islam pertama di Jawa yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478. Kesultanan ini sebelumnya merupakan bagian dari kerajaan Majapahit, dan kesultanan ini merupakan pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya. Kesultanan Demak mengalami kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan antar kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Kesultanan Demak beralih ke Kesultanan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Salah satu peninggalan bersejarah Kesultanan Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang diperkirakan didirikan oleh para Walisongo. Lokasi ibukota Kesultanan Demak saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah. http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Banjarmasin
[10] Kota Banjarmasin adalah salah satu kota sekaligus merupakan ibu kota dari provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Kota ini memiliki luas wilayah 72 km² atau 0,019% dari luas wilayah Kalimantan Selatan. Jumlah penduduk di kota ini adalah sebanyak 527.250 jiwa (2000) dengan kepadatan penduduk 7.325/km². http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Banjarmasin
[11] . Berdasarkan hasil penelitian Panitia Hari Jadi kota Banjarmasin,
Pangeran Samudera Raja Banjar di Islamkan oleh wakil Penghulu Demak Khatib Dayan
pada tanggal 24 September 1526, hari Rabu jam sepuluh pagi bertepatan dengan
8 Zulhijjah 932 Hijriyah, tanggal . Hasan Muarif Ambary, op.cit.
Kesultanan Banjar terus berkembang, hingga menghasilkan banyak keturunan dan memiliki catatan tersendiri dalam sejarah Kerajaan Islam Nusantara. Adapun silsilah raja-raja / penguasa Banjarmasin adalah:
1. Raja I adalah Sultan Suriansyah (1520-1546)
2. Raja II adalah Sultan Rahmatullah (1546-1570)
3. Raja III adalah Sultan Hidayatullah (1570-1595)
4. Raja IV adalah Sultan Mustainbillah (1595-1638)
5. Raja V adalah Sultan Inayatullah (1642-1647)
6. Raja VI adalah Sultan Saidullah (1647-1660)
7. Raja VII adalah Sultan Ri’ayatullah (1660-1663)
8. Raja VIII adalah Sultan Amirullah Bagus Kusuma (1663-1679)
9. Raja IX adalah Sultan Agung (1663-1679)
10. Raja X adalah Sultan Amirullah Bagus Kusuma (kedua kali 1679-1700)
11. Raja XI adalah Sultan Hamidullah (1730-1734)
12. Raja XII adalah Sultan Tamjidullah (1734-1759)
13. Raja XIII adalah Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah (1759-1761)
14. Raja XIV adalah Susuhunan Nata Alam (1761-1801)
15. Raja XV adalah Sultan Sulaiman Saidullah (1801-1825)
16. Raja XVI adalah Sultan Adam Alwasikh Billah (1825-1857)
17. Raja XVII adalah Sultan Tamjidullah Alwasikh Billah (1857-1859)


[12] . Lihat Ensiklopedi Tematis... jilid 5, hal. 276.
[13] .Khatib Dayan bertugas di Kerajaan Banjar sampai dia meninggal dan
dikuburkan di Kuwin Utara, Banjarmasin. ada yang berpendapat Khatib Dayan itu
adalah seorang Arab golongan Ahlul Baid bernama Sayyid Abdurrahman. Orang Jawa
lazim menyebutkan Sayyid Ngabdul Rahman. Mungkin pula Khatib Dayan itu orang
Jawa keturunan Arab karena sepanjang pantai utara Jawa, Tuban Gresik, Demak,
merupakan tempat pemukiman orang Arab.
[14] . Lihat Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam., (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 267. Lihat juga Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis, dan Dinasti. (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hal. 21-71.
[15] Keruwetan politik dalam negeri Kesultanan banjar ini ahirnya menimbulkan meletusnya Perang banjar selama 4 tahun (1859 – 1863). Pada periode konflik fisik itulah, yaitu pada tahun 1859, muncul seorang pangeran setengah baya yang telah disingkirkan haknya, memimpin perlawanan terhadap Belanda. Dialah Pangeran Antasari yang lahir tahun 1809. Pangeran ini, telah bekerja sama dengan para petani. Dua tokoh pimpinan kaum petani saat itu Panembahan Aling dan Sultan Kuning, telah membantu Antasari untuk melancarkan serangan besar-besaran. Mereka menyerang pertambangan batubara Belanda dan pos-pos misionaris serta membunuh sejumlah orang Eropah. Sehingga pihak Kolonial mendatangkan bantuan besar-besaran. Antasari kemudian bergabung dengan kepala-kepala daerah Hulu Sungai, Marthapura, Barito, Pleihari, Kahayan, Kapuas, dan lain-lain. Mereka bersepakat mengusir Belanda dari Kesultanan Banjar. Maka perang makin menghebat, dibawah pimpinan Pangeran Antasari. Pernah pihak Belanda mengajak berunding, tetapi Pangeran Antasari tidak pernah mau. Daerah pertempurannya meliputi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Pada tahun 1862 Pangeran Antasari merencanakan suatu serangan besar-besaran terhadap Belanda, tetapi secara mendadak, wabah cacar melanda daerah Kalimanatan Selatan, Pangeran Antasari terserang juga, sampai ia meninggal pada 11 Oktober 1862 di bayan Begak, Kalimantan Selatan. Kemudian ia dimakamkan di Banjarmasin. Lihat Helius, Pegustian dan Temenggung..., hal. 99-220.
[16] . keberadaan belanda bermula dari adanya kekuasaan portugis di malaka pada 1511 yang mengadakan kongsi dagang bersama inggris. Selain mempersempit peran pedagang muslim, memonopoli perdagangan, belanda juga berusaha memperluas pengaruh politiknya dengan mengambil keuntungan dari konflik internal yang sering terjadi di kerajaan local atau antar kerajaan local di nusantara, terutama di pulau jawa.
Keterlibatan VOC di dalam berbagai konflik itu pada satu sisi membenarkan usahanya dalam memperluas pengaruh politik sebagai sesuatu yang legal. Pada saat yang sama, pengaruh ekonomi VOC semakin besar melalui penguasaan hak atas tanah atau wilayah, termasuk hak memonopoli produksi, perdagangan, tenaga kerja, serta pajak. VOC mengambil alih sumber ekonomi penguasa local, dan sekaligus menentukan status ekonomi mereka. Ensiklopedi Tematis... jilid 5, hal. 291-292.
[17] . Tradisi intelektual juga dipahami sebagai upaya “penerjemahan” nilai-nilai islam ke dalam system sosial budaya masyarakat nusantara, berarti proses penyerapan prinsip islam melalui modus konseptualisasi yang berbasis pada system sosial budaya nusantara, yang akan membentuk dimensi islam nusantara yang khas. Ensiklopedi Tematis… jilid 5, hal. 139.
[18] . Penyebaran pembaruan dari pusat-pusat pengetahuan dan keilmuwan di timur tengah ke berbagai wilayah nusantara serta hubungan religius dan intelektual antarulamanya ternyata tidak terputus hingga masa al-raniri, singkel, dan syekh yusuf saja, melainkan berkelanjutan dan bahkan mencapai momentumnya pada periode berikutnya, tepatnya abad-18 hingga awal abad ke-19 dan ke-20. pada periode ini pula gerakan pembaruan di wilayah Melayu-Indonesia mulai menunjukkan akselerasi yang signifikan dengan lebih berkembangnya penghargaan akan pentingnya pengetahuan dan keilmuwan islam serta perlunya pembaruan di kalangan berbagai kelompok etnik di Nusantara.
Ulama melayu-indonesia setelah abad ke-7, tercatat: abdus samad al-palimbani, syihabuddin bin Abdullah Muhammad, kemas fakhruddin, kemas Muhammad bin ahmad, dan Muhammad muhyiddin bin syihabuddin (Sumatra selatan) dan ulama-ulama dari berbagai wilayah yaitu Muhammad arsyad al-banjari dan Muhammad nafis al-banjari dari Kalimantan selatan, abdul wahhab al-bugisi dari sulawesi, Abdurrahman masri al-baawi dari batavia, daud bin Abdullah al-fatani dari wilayah patani(Thailand selatan), ahmad rifa’I dari kalisasak, Muhammad bin umar an-nawawi al-bantani al-jawi dari banten, serta syekh ahmad khatib al-minangkabawi dan Muhammad yasin bin Muhammad isa al-padani dari Sumatra barat.  Ensiklopedi Tematis…, jilid 5. hal. 127-128).
[19] . Jalur nasabnya adalah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Abu Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama'ah bin Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja'far As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu'minin Ali Karamallah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW.
[20].Untuk biografi lengkap muhammad arsyad, lihat, zamzan, syekh muhammad arsyad; jusuf halidi, ulama besar kalimantan: syech muhammad arsjad al-banjari, martapura: jajasan al-banjari, 1968;tamar djaja, ”sjeich M. Arsjad Bandjar”, dalam pusaka indonesia, djakarta: bulan bintang, 1965, 309 – 17; Shaghir Abdullah, syeikh muhd. Arsyad albanjari, matahari islam, pontianak: al-fathanah, 1983;abu daudi, maulana syekh moh. Arsyad al-banjari, martapura: sullamululum, 1980; M.S Kadir, ”Syekh muhammad ’arsyad al-banjari pelopor dakwah islam & kalimantan selatan”, mimbar ulama, 6 (1976), 69-79, dalam Azra, Jaringan Ulama…, hal.  
[21] . k. Steenbrink,”syekh muhammad arsyad al-banjari: 1710-1812, tokoh fikih dan tasawuf,” dalam karyanya beberapa aspek tentang islam di nidonesia abad ke-19, jakarta: bulan bintang, 1984,91,96. dalam Azra, Jaringan Ulama…, hal. .
[22] . halidi, ulama besar, 11-12; abdullah, syekh abdush shamad, 11 – 2, dalam Azra, Jaringan Ulama…, hal.
[23] .  zamzam, syek muhammad arsyad, 10; steenbrink,syekh muhammad arsyad; 92, dalam Azra, Jaringan Ulama…, hal.
[24] . halidi, ulama besar, 14 – 5; halidi, syekh muhammad arsyad, 7; c.s hurgronje, nasihat-nasihat c.snouck hurgronje semasa kepegawaiannya kepada pemerintah hindia belanda, terj. Sukarsi, jakarta: INIS,1991,V,898 – 9. ini merupakan edisi indonesia dari E.Gobee & C. Adrianse (comp), Amptelijke Adviezen van C. Snouck hurgronje, 1889 – 1936, 2 jilid, s-Gravenbage: Nijhoff, 1959 -65, dalam Azra, Jaringan Ulama…, hal.
[25] . zamzam, syekh muhammad arsyad, 8.9; halidi, ulama besar, 16.
[26] . halidi, ulama besar, 18; zamzami, syekh muhammad arsyad, 10-11
[27] . Karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari  lainnya adalah:
1.KITAB USHULUDIN
Kitab yang berkaitan dengan keimanan dan ketauhidan, sifat-sifat Allah SWT dan Rasulullah SAW. Ditulis tahun 1774 M.
2. KITAB LUQTHATUL ‘AJLAN FI BAYANI HAIDHI WA ISTIHADHATI WA NIFASINNISWAN
Kitab yang berisi mengenai haidh, istihadhah dan nifas.
3. KITAB FARA-IDH
Kitab yang berisi mengenai hukum waris.
4. KITAB TUHFATURRAGHIBIEN
Kitab yang berisi tentang iman, hal-hal yang merusak iman, tanda-tanda orang murtad dan hukumnya. Ditulis tahun 1774 M
5. KITAB AL-QAULUL MUKHTASHAR FI ‘ALAMATIL MAHDIL MUNTAZHAR
Kitab yang berisi mengenai turunnya Imam Mahdi, Nabi Isa As, tentang Dajjal, keluarnya Ya’juj dan Ma’juj. Ditulis tahun 1196 H.
6. KITAB ILMU FALAK
Kitab yang berisi tentang cara menghitung kapan terjadinya gerhana matahari dan bulan.
7. KITABUN NIKAH
Kitab yang berisi mengenai perwalian dan tata cara aqad nikah yang telah dicetak di Turki.
8. KITAB KANZUL MA’RIFAH
Kitab Ilmu Tasauf
9. FATWA SULAIMAN KURDI
Risalah fatwa-fatwa Syeikhul Islam Imamul Haramain ‘Alimul ‘Allamah Muhammad bin Sulaiman Al Kurdie.
10. KITAB SABILAL MUHTADIEN LITTAFAQQUH FI AMRIDDIN.
Kitab Ilmu Fiqih
11. MUSHAF AL QURAN AL KARIEM
Al Quran yang ditulis dengan perasaan seni (Kaligrafi)
12. KITAB FATHUL JAWAD
Memuat ketentuan fikih tentang hak pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah
Bagi mengenang jasa dan sumbangan beliau, beberapa tempat di Indonesia telah mengabadikan nama dan karya beliau. Antaranya ialah Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad al Banjari dan Masjid Raya Sabilal Muhtadin.



[28] . Muhammad  Arsyad Al-Banjari,  Sabil Al-Nuhtadin Li Al-Tafaqquh Fi ’Amr Al-Din, MS. Jakarta: perpustakaan nasional, MI. 776,2-4 abdullah, syekh muhammad arsyad,51; ”syekh muhammad arsyad’, dalam perkembangan ilmu fiqih, 81 – 2; zamzam, ”karya al-raniri dan al-banjari’, 49; mohd. Nor Ngah, kitab jawi: islamic thought of the malay muslim scholars, singapore: ISEAS, 1982,5.
[29] . Lihat, Geertz, Islam Observed, 12 – 3; Noer, The Modernist Muslim, 12 dalam http://tarbiyyahibnumasran.blogspot.com/2007/06/mengenali-tokoh-ulama-banjar.html
[30]. Berdasarkan pendapat dari Karel S. Steenbrink sebenarnya riwayat hidup seorang tokoh dapat dilacak melalui dua sumber utama. Pertama sumber intern, yakni sumber yang berasal dari tokoh itu sendiri, misalnya karya tulis, biografi tentang sejarah hidupnya atau sumber tertulis lainnya. Kedua, sumber ekstern, yakni tulisan-tulisan yang mengetengahkan tentang riwayat hidup dan perjuangan dari seorang tokoh (1985: 91). Dalam konteks ini pendekatan pertama yang bersifat intern tidak bisa diterapkan, karena sampai sekarang tidak pernah ditemukan satupun karya tulis, buku, risalah, atau kitab karangan Syekh Abdul Wahab Bugis yang bisa dibaca dan ditelaah. Sedangkan pendekatan kedua yang bersifat ekstern yang mengetengahkan tentang riwayat hidup dan perjuangannya juga sangat terbatas dan sedikit sekali, bahkan hampir-hampir tidak ada. Sehingga wajar, walaupun Azyumardi Azra memasukkan Syekh Abdul Wahab Bugis sebagai salah seorang tokoh penting dalam konsep jaringan ulamanya, namun pengungkapan data, riwayat hidup, karier, dan perjuangannya sendiri hampir tidak ada.
              Sebagaimana dikatakan, tulisan yang mengetengahkan riwayat hidup tokoh yang satu ini memang sangat sedikit, bahkan hampir-hampir tidak ada. Namun menilik dari namanya, Syekh Abdul Wahab Bugis –selanjutnya ditulis Abdul Wahab– orang sudah bisa menduga bahwa sebenarnya ia bukanlah asli orang Banjar, karena memang ia berasal dari Bugis, Makasar, Sulawesi Selatan. Tepatnya, menurut Abu Daudi, Abdul Wahab adalah seorang berdarah bangsawan, ia keturunan seorang raja yang berasal dari daerah Sadenreng Pangkajene, dan dilahirkan di sana. Sebagai seorang yang berdarah bangsawan ia diberi gelar Sadenring Bunga Wariyah. Jadi nama lengkapnya adalah Abdul Wahab Bugis Sadenreng Bunga Wariyah.
              Pangkajene, daerah tempat kelahiran Abdul Wahab sekarang ini adalah adalah salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) Sulawesi Selatan, ibukotanya adalah Tomapoa. Terletak di sebelah atau bagian barat dari propinsi Sulawesi Selatan. Di samping di kenal sebagai daerah pertanian yang subur dengan tanah pegunungan dan dataran rendahnya, daerah ini dikenal pula sebagai daerah perikanan. Salah satu peninggalan sejarah yang terkenal di daerah ini adalah Arojong Pangkajene. (Depag RI, 1996: 786).
                 Tidak diketahui secara pasti kapan ia dilahirkan. Perkiraan penulis ia dilahirkan antara tahun 1725-1735, mengingat usianya yang lebih muda dibandingkan dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang dilahirkan pada tahun 1710 M. http://tarbiyyahibnumasran.blogspot.com/2007/06/mengenali-tokoh-ulama-banjar.html.
[31] .     Walaupun kemudian diketahui bahwa Syarifah sendiri telah dinikahkan dengan Usman dan telah mendapatkan satu orang anak, bernama Muhammad As’ad. Tetapi setelah diteliti oleh Syekh Muhammad Arsyad berdasarkan hitungan Ilmu Falak maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan Abdul Wahab dengan Syarifah yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad dengan kedudukan Wali Mujbir di Mekkah lebih terdahulu waktunya daripada pernikahan Syarifah dengan Usman melalui Wali Hakim di Martapura. Karena itulah akhirnya pernikahan Usman dan Syarifah difasakh atau dibatalkan, dan ditetapkan bahwa Abdul Wahab-lah yang menjadi suami Syarifah.
              Keputusan ini kemudian ditaati oleh kedua belah pihak, dan menurut cerita Usman akhirnya merantau ke daerah Palembang Sumatera Selatan, serta merintis terbentuknya sebuah desa di sana yang diberi nama Martapura. Karena itu boleh jadi di Indonesia, daerah yang bernama Martapura hanya ada dua, yakni Martapura di Kalimantan Selatan atau Martapura di Palembang (Sumatera Selatan).
              Hasil perkawinannya dengan Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad ini melahirkan dua orang anak, masing-masing bernama Fatimah dan Muhammad Yasin. Fatimah binti Syekh Abdul Wahab Bugis kemudian dikawinkan dengan H.M. Said Bugis dan melahirkan dua orang anak, yakni Abdul Gani dan Halimah, sedangkan Muhammad Yasin tidak memiliki keturunan. Abdul Gani anak Fatimah kemudian kawin dengan Saudah binti H. Muhammad As’ad dan juga melahirkan dua orang anak, namun keduanya meninggal dunia. Sementara, Halimah pun juga tidak memiliki keturunan. Abdul Ghani kemudian kawin lagi dengan seorang wanita dari Mukah Sarawak dan mendapatkan lagi dua orang anak, yakni Muhammad Sa’id dan Sa’diyah. Muhammad Said kemudian kawin dan mendapatkan dua orang anak, bernama Adnan dan Jannah. Sedangkan Sa’diyah memiliki anak bernama Sailis, yang menurut cerita kemudian tinggal di Sekadu, Pontianak Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Tuan Haji Besar. (Martapura, Sekretariat Madrasah Sullamul Ulum Dalam Pagar, 1996)hal. 78.
[32] .    Abdul Wahab dikenal sebagai salah seorang tokoh “empat serangkai”, yakni Syekh Abdurrahman al-Misri, Syekh Abdus Samad al-Palimbani, dan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yang memiliki akhlak dan kepribadian sebagaimana akhlak dan kepribadian yang dimiliki oleh tokoh empat serangkai lainnya, sebagaimana digambarkan oleh Abu Daudi mereka adalah empat serangkai yang seiring sejalan, yang mendapat pendidikan dari guru yang sama, yang sama-sama mengutamakan ilmu dan amal, dan empat serangkai yang sama-sama pulang bersama serta mengemban tugas yang serupa. Ia adalah sahabat sekaligus menantu dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Jika Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani lebih banyak menghabiskan waktu mereka menuntut ilmu di kota Mekkah, maka Abdul Wahab bersama dengan sahabatnya Syekh Abdurrahman Misri lebih banyak menghabiskan waktu mereka menuntut ilmu di kota Mesir. Sehingga dalam tulisan Abu Daudi, Abdul Wahab tercatat sebagai salah seorang murid dari Syekhul Islam, Imamul Haramain Alimul Allamah Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi. Syekh Sulaiman al-Kurdi ini kemudian juga menjadi guru dari Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdusshamad al-Palimbani. Itulah sebabnya ia mengiringi gurunya itu ke kota Madinah ketika gurunya itu hendak mengajar, mengembangkan pengetahuan agama dan Ilmu Adab serta mengadakan pengajian umum.
             Di kota Madinah inilah kemudian empat serangkai bertemu dan selanjutnya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Abdus Samad al-Palimbani pun mengikuti majelis pengajian Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi, yang kemudian memicu lahirnya tulisan Syekh Muhammad Arsyad yang berjudul “Risalah Fatawa Sulaiman Kurdi”. Risalah ini berupa naskah yang isinya menerangkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kepada Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi tentang keadaan atau tindakan Sultan Banjar yang memungut pajak dan mengenakan hukuman denda bagi mereka yang meninggalkan shalat Jum’at dengan sengaja, serta berbagai masalah lainnya. Risalah ini ditulis dalam bahasa Arab, dan belum pernah diterbitkan, namun naskah asli tulisan beliau sampai sekarang masih ada dan tetap tersimpan dengan baik pada salah seorang zuriat beliau di desa Dalam Pagar Martapura.
                   Kemudian atas anjuran dari Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi pula, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani yang haus ilmu pengetahuan yang semula berniat dan berencana untuk menambah ilmu ke Mesir tidak jadi berangkat ke sana, sebab ilmu pengetahuan yang mereka miliki telah dianggap cukup, untuk selanjutnya mereka disarankan segera pulang ke tanah air guna mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah didapat (Abu Daudi, 1996: 29).
                 Bandingkan dengan pendapat Azyumardi Azra (1994: 253), yang menyatakan bahwa Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani meminta izin dan restu kepada guru mereka Syekh Athaillah bin Ahmad al-Misri untuk menuntut ilmu ke Mesir, namun oleh Syekh Athaillah mereka disarankan untuk pulang ke tanah air mengamalkan ilmu yang telah didapat, sebab Syekh Athaillah percaya mereka (empat serangkai) telah memiliki pengetahuan yang lebih dari cukup, sehingga akhirnya mereka tidak jadi menuntut ilmu ke Mesir, tetapi tetap ke sana untuk berkunjung. Sebagai tanda kunjungan akhirnya nama Syekh Abdurrahman al-Batawi ditambah dengan al-Misri.
                 Menurut riwayat, selama di kota Madinah, “empat serangkai” juga belajar ilmu tasawuf kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani, seorang ulama besar dan Wali Quthub di Madinah, sehingga akhirnya mereka berempat mendapat gelar dan ijazah khalifah dalam tarekat Sammaniyah Khalwatiyah. 
                Di samping tercatat sebagai murid dari Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani (seorang ulama besar dan Wali Quthub di Madinah) dan Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, Abdul Wahab juga berguru kepada:
1. Abdul al-Mun’im al-Damanhuri, Ibrahim bin Muhammad al-Ra’is al-Zamzami al-Makki (1698-1780 M) yang terkenal sebagai ahli Ilmu Falak (Astronomi)
2. Muhammad Khalil bin Ali bin Muhammad bin Murad al-Husaini (1759-1791 M) yang terkenal sebagai ahli sejarah dan penulis kamus biografi Silk al-Durar
3. Muhammad bin Ahmad al-Jauhari al-Mishri (1720-1772 M) yang terkenal sebagai seorang ahli hadits
4. Athaillah bin Ahmad al-Azhari, al-Mashri al-Makki, yang juga terkenal sebagai seorang ahli hadits ternama serta dianggap sebagai isnad unggul dalam telaah hadits.
                Dengan demikian jelas, bahwa guru-guru terkemuka Abdul Wahab di atas juga merupakan guru-guru dari tokoh empat serangkai yang lainnya. http://tarbiyyahibnumasran.blogspot.com/2007/06/mengenali-tokoh-ulama-banjar.html
[33] . Mengingat kedudukan dan kedekatannya, sumbangan pemikiran Abdul Wahab terhadap sejumlah karya tulis Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dapat saja terjadi, mengingat bahwa:
1. Abdul Wahab adalah salah seorang ahli Fiqih dan murid dari Imam Haramain, Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan Syekh Athaillah bin Ahmad al-Misri, yang lama menuntut ilmu di Mesir dan Haramain, beliau adalah seorang yang alim, sahabat sekaligus menantu yang berjuang berdampingan bersama Syekh Muhammad Arsyad, mewujudkan ikrar yang telah ditetapkan ketika berkumpul bersama-sama (dengan tokoh empat serangkai lainnya) sesudah menuntut ilmu di Madinah, dan akan pulang ke tanah air.
2. Abdul Wahab adalah salah seorang tokoh dari “empat serangkai” yang mendapatkan ijazah khalifah dalam tarekat Sammaniyah ketika keempatnya belajar dan mengkaji ilmu tasawuf atau tarekat di Madinah kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani.
3. Abdul Wahab dianggap sebagai tokoh penting dalam jaringan ulama Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19 karena keterlibatannya secara sosial maupun intelektual dalam jaringan ulama tersebut. Ketokohannya diakui dan dapat dilihat dari gelar syekh yang beliau sandang. Sebab gelar syekh dalam khazanah masyarakat Banjar mengisyaratkan kealiman penyandangnya, sekaligus pula menjadi penanda bahwa yang bersangkutan pernah atau lama mengkaji ilmu di Tanah Haramain (Mekkah atau Madinah). Karena itulah di samping diangkat menjadi guru di istana kerajaan Banjar oleh sultan, dalam kehidupan masyarakat luas pun ia dihormati dan dijadikan sebagai guru rohani mereka. Mengingat kedudukan dan kedekatannya, sumbangan pemikiran Abdul Wahab terhadap sejumlah karya tulis Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dapat saja terjadi, mengingat bahwa:
1. Abdul Wahab adalah salah seorang ahli Fiqih dan murid dari Imam Haramain, Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan Syekh Athaillah bin Ahmad al-Misri, yang lama menuntut ilmu di Mesir dan Haramain, beliau adalah seorang yang alim, sahabat sekaligus menantu yang berjuang berdampingan bersama Syekh Muhammad Arsyad, mewujudkan ikrar yang telah ditetapkan ketika berkumpul bersama-sama (dengan tokoh empat serangkai lainnya) sesudah menuntut ilmu di Madinah, dan akan pulang ke tanah air.
2. Abdul Wahab adalah salah seorang tokoh dari “empat serangkai” yang mendapatkan ijazah khalifah dalam tarekat Sammaniyah ketika keempatnya belajar dan mengkaji ilmu tasawuf atau tarekat di Madinah kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani.
3. Abdul Wahab dianggap sebagai tokoh penting dalam jaringan ulama Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19 karena keterlibatannya secara sosial maupun intelektual dalam jaringan ulama tersebut. Ketokohannya diakui dan dapat dilihat dari gelar syekh yang beliau sandang. Sebab gelar syekh dalam khazanah masyarakat Banjar mengisyaratkan kealiman penyandangnya, sekaligus pula menjadi penanda bahwa yang bersangkutan pernah atau lama mengkaji ilmu di Tanah Haramain (Mekkah atau Madinah). Karena itulah di samping diangkat menjadi guru di istana kerajaan Banjar oleh sultan, dalam kehidupan masyarakat luas pun ia dihormati dan dijadikan sebagai guru rohani mereka. http://tarbiyyahibnumasran.blogspot.com/2007/06/mengenali-tokoh-ulama-banjar.html.
[34] . Bangunan tersebut terdiri dari ruangan-ruangan untuk belajar, pondokan tempat tinggal para santri, rumah tempat tinggal Tuan Guru atau kyai, dan perpustakaan. Oleh Humaidy lembaga pendidikan Islam ini, sebagaimana istilah yang biasa dipakai di kawasan dunia Melayu, seperti Riau, Palembang, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Fattani (Thailand) disebut punduk. Sehingga Dalam Pagar akhirnya berhasil menjadi locus dan kawah candradimuka paling penting untuk mendidik serta mengkader para murid yang kemudian hari menjadi ulama terkemuka di kalangan masyarakat Kalimantan.
Tentu di masa-masa sulit seperti ini beliau berdua dengan anak menantu dan sekaligus sahabatnya, Abdul Wahab Bugis saling membantu, mengisi, dan membina kader-kader dakwah yang banyak jumlahnya tersebut. Hasilnya, di samping berhasil menjadikan anak cucu mereka –Fatimah dan Muhammad Yasin bin Syekh Abdul Wahab Bugis serta Muhammad As’ad bin Usman (mufti pertama di kerajaan Banjar)– sebagai ulama, membentuk kader-kader masyarakat yang kelak menjadi ulama terkemuka, mereka berdua juga berhasil membentuk masyarakat Islam Banjar yang memiliki kesadaran untuk berpegang pada ajaran agama Islam melalu dakwah bil-lisan, bil-kitabah, dan bil-hal, serta diteruskan kemudian oleh generasi-generasi dan kader-kader yang telah dibina melalui upaya pengiriman juru dakwah ke berbagai daerah yang masyarakatnya sangat memerlukan pembinaan agama, dari sini akhirnya dakwah terus berkembang dan ajaran Islam semakin tersebar luas ke tengah-tengah masyarakat Banjar. http://tarbiyyahibnumasran.blogspot.com/2007/06/mengenali-tokoh-ulama-banjar.html
[35] . Mufti adalah suatu lembaga yang bertugas memberikan nasihat atau fatwa kepada sultan masalah-masalah keagamaan, jabatan mufti kerjaan Banjar yang pertama dipegang oleh H. Muhammad As’ad bin Usman (cucu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari). Sedangkan qadli adalah mereka yang mengurusi dan menyelesaikan segala urusan hukum Islam, terhadap masalah perdata, pernikahan, dan waris, jabatan qadli yang pertama dipegang oleh H. Abu Su’ud bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Sampai akhirnya Syariat Islam diterapkan sebagai hukum resmi yang mengatur kehidupan masyarakat Islam di tanah Banjar pada masa pemerintahan Sultan Adam al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mu’tamidillah (1825-1857 M), yang dikenal dengan nama Undang-Undang Sultan Adam (UUSA). Dibentuk dan diberlakukannya UUSA ini bertujuan untuk mengatur agar kehidupan beragama masyarakat menjadi lebih baik, mengatur agar akidah masyarakat lebih sempurna, mencegah terjadinya persengketaan, dan untuk memudahkan para hakim dalam menetapkan status hukum suatu perkara.
UUSA ini antara lain berisikan, Pasal 1 sampai dengan pasal 2 berbicara tentang dasar negara yakni Islam yang Ahlu Sunnah wal Jamaah, pasal 4 sampai dengan pasal 22 menerangkan peraturan dalam peradilan berdasarkan mazhab Syafi’i, pasal 23 sampai pasal 27 berbicara tentang hukum tanah garapan, penjualan tanah, penggadaian, peminjaman dan penyewaan tanah yang harus dilakukan secara tertulis, serangkap di tangan hakim dan serangkap lagi di tangan yang berkepentingan. Gugatan terhadap tanah yang terjadi sebelum diberlakukan undang-undang dapat diajukan sebelum duapuluh tahun semenjak undang-undang ditetapkan, sedang tanah atau kebun yang terjual atau telah dibagi kepada ahli waris, dapat digugat selama sepuluh tahun dari tahun penjualan atau pembagian sampai undang-undang diberlakukan. Orang yang menang dalam perkara tidak boleh mengambil sewa selama berada di tangan tergugat. http://tarbiyyahibnumasran.blogspot.com/2007/06/mengenali-tokoh-ulama-banjar.html
[36] . Dimaksud dengan dakwah sufistik adalah usaha dakwah yang dilakukan oleh seorang muslim untuk mempengaruhi orang lain, baik secara individu maupun kolektif (jamaah) agar mereka mau mengikuti dan menjalankan ajaran Islam secara sadar, usaha ini dilakukan dengan pendekatan tasawuf, yakni pendekatan dakwah yang lebih menekankan pada aspek batin penerima atau objek dakwah (mad’u) daripada aspek lahiriyahnya.
                   Dengan kata lain pendekatan dakwah sufistik adalah dakwah dengan menggunakan materi-materi sufisme, yang di dalamnya terdapat aspek-aspek yang berhubungan dengan akhlak, baik akhlak kepada Allah, kepada Rasul-Nya, kepada sesama manusia, bahkan akhlak terhadap semua makhluk ciptaan Allah seperti tawadlu’, ikhlas, tasamuh, kasih sayang terhadap sesama, dan lain-lain, sehingga pada akhirnya dalam diri mad’u timbul kesadaran untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah) sedekat-dekatnya agar memperoleh rahmat serta kasih sayang-Nya (Rosyidi, 2004: 46).
                 Apatah lagi, pada masa itu tasawuf dan berbagai tarekat yang ada telah memainkan peranan penting dalam perkembangan dan Islamisasi di Indonesia sejak abad XI Masehi. Di mana berlangsungnya Islamisasi di Asia Tenggara (termasuk di Indonesia), berbarengan dengan masa-masa merebaknya tasawuf abad pertengahan, dan pertumbuhan tarekat-tarekat, antara lain ajaran Ibn al-‘Arabi (w. 1240 M), ‘Abd al-Qadir al-Jailani (w. 1166 M) yang ajarannya menjadi dasar Tarekat Qadiriyah, ‘Abd al-Qahir al-Suhrawardi (w. 1167 M), Najm al-Din al-Kubra (w. 1221 M) dengan tarekatnya Kubrawiyah, Abu al-Hasan al-Syadzili (w. 1258 M) dengan tarekatnya Syadziliyah, Baha’u al-Din al-Naqsyabandi (w. 1389 M) dengan tarekatnya Naqsabandiyah, ‘Abd Allah al-Syattar (w. 1428 M) dengan tarekatnya Syattariyah, dan sebagainya (Martin, 1985: 188). Sehingga tasawuf merupakan sesuatu yang sangat diminati, tak terkecuali pula halnya dengan masyarakat Banjar yang telah memiliki bibit-bibit ketasawufan tersebut. Lebih dari itu, Islam yang masuk yang berkembang di Indonesia sendiri menurut para ahli adalah Islam yang bercorak tasawuf (Yunasir, 1987: 94).
[37] . Tidak diketahui secara pasti memang kapan tahun meninggalnya, namun diperkirakan antara tahun 1782-1790 M, dalam usian enampuluh tahunan. Tahun ini penulis dasarkan pada catatan tahun pertama kali kedatangannya (1772 M) dan tahun pemindahan makamnya. Di mana semula ia dikuburkan di pemakaman Bumi Kencana Martapura, namun oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kemudian, bersamaan dengan pemindahan makam Tuan Bidur, Tuan Bajut (isteri dari Syekh Muhammad Arsyad), dan Aisyah (anaknya Tuan Bajut), makamnya kemudian dipindahkan ke desa Karangtangah (sekarang masuk wilayah desa Tungkaran Kecamatan Martapura) pada pada hari Selasa, 2 Rabiul Awal 1208 H (1793 M). Karena itu bisa diperkirakan bahwa, dihitung dari tahun pertama kedatangan hingga wafatnya, Abdul Wahab telah bahu-membahu dan memperjuangkan dakwah Islam mendampingi Syekh Muhammad Arsyad di tanah Banjar sekitar 10-15 tahun.
              Ada pula yang menyatakan bahwa, Abdul Wahab setelah lama berkiprah di Tanah dan kerajaan Banjar serta sesudah kedua anaknya yakni Fatimah dan Muhammad Yasin dewasa, ia kemudian pulang dan meninggal di kampung halamannya Pangkajene, Sulawesi Selatan (Zamam, 1978: 13).
             Namun, Berdasarkan catatan pemindahan makamnya yang sampai sekarang masih disimpan oleh Abu Daudi, dapat disimpulkan bahwa Syekh Abdul Wahab Bugis sebenarnya tidak pulang ke daerah asalnya tetapi meninggal lebih muda dari Syekh Muhammad Arsyad. Karena itu data ini lebih kuat dari yang dikatakan oleh Zafri Zamzam bahwa Syekh Abdul Wahab Bugis pulang ke daerah asal beliau (Pangkajene) dan meninggal di sana. http://tarbiyyahibnumasran.blogspot.com/2007/06/mengenali-tokoh-ulama-banjar.html
[38] . ”Muhammad Nafis”, ensiklopedi islam, II, 616; Abdullah, ”syekh muhammad nafis”,108. Lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, Dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia., (bandung: anggota IKAPI, 1999). Hal. 64-66).
[39] . Ditulis di Mekah pada 1200H/1785 M, Muhammad Nafis berpendapat bahwa kesaan Tuhan (tauhid) terdiri atas 4 tahap: tauhid al-af’al (keesaan perbuatan Tuhan), tauhid as-siffah (kesaan sifat-sifat Tuhan), tauhid al-asma’ (kesaan nama-nama Tuhan), dan tauhid az-zat (keesaan esensi Tuhan). Pada tahap tertinggi, tauhid az-zat para pencari kebenaran akan mengalami fana, dan selama itu mereka akan dapat mencapai penyaksian atau penglihatan (musyahadah) esensi tuhan. Seperti halnya al-palimbani, Muhammad nafis percaya bahwa zat tuhan tidak dapat diketahui melalui pancaindera dan akal. Ia hanya dapat ditangkap dengan kasyf (intuisi langsung). Hanya saja, untuk mencapai tahap kasyf itu, Muhammad an-nafis menekankan pentingnya kepatuhan kepada syariat, baik lahir maupun bathin. Mustahil bagi seseorang untuk mencapai tahap itu tanpa menguatkan daya spiritualnya dengan cara menjalankan ibadah dan kewajiban lain yang ditetapkan syariat islam. Muhammad nafis mengacu pada karya ulama, baik dari kalangan yang berorientasi kepada syariat seperti al-ghzali maupun yang berorientasi mistis filosofis seperti ibnu arabi. Ensiklopedi Tematis… jilid 5. hal. 154-155.
[40] . abdullah,”syekh muhammad nafis”,110.
[41] . usman, urang banjar, 60; ”muhammad nafis”, ensiklopedi islam, 615; mansur, kitab ad-durun nafis, 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar