Blog ini adalah media untuk berbagi antar sesama, untuk menjalin silaturrahim.
Jumat, 24 Oktober 2014
HABIB PENGARANG MAULID HABSY
HABIB ALI BIN MUHAMMAD ALHABSYI (Pengarang Maulid Simtud Duror)
Habib
Ali bin Muhammad Alhabsyi dilahirkan di desa Qosam (Hadramaut). Ayah
kandungnya adalah seorang alim dan ulama besar yaitu Habib Muhammad
bin Husein Alhabsyi lahir di Seiwun sedangkan ibunya adalah juga
seorang alim dan pendakwah yang bernama Hababah Alawiyah binti Husein
bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri lahir di Syibam. Ada sebuah kisah menarik
tentang ayah Habib Ali. Pada waktu itu ayah Habib Ali menyewa rumah
seharga 100 qursyi setahun. Suatu hari pemilik rumah datang untuk
meminta uang sewa rumah. Ayah Habib Ali kemuadian berkata kepada
kakaknya Habib Ali : “Wahai Ahmad, naiklah keatas, ambil uang uang 100
qursyi di laci dan bawa kesini!”. Ahmad berkata dalam hati “setiap
hari laci itu kubuka dan didalamnya tidak ada uang”. Ahmad lalu naik
keatas. Setelah membuka laci dan tidak menemukan apa-apa, lalu ia
kembali menemui ayahnya “Wahai ayah laci itu kosong, tidak kutemukan
uang disana”. “Kau tidak melihatnya, Ayo ikut aku, akan kutunjukkan
kepadamu” kata ayah Habib Ali. Setelah itu mereka berdua naik keatas dan
membuka laci. Ternyata disana ada sebuah kantong berisi uang 100
Qursyi, “Berikanlah pemilik rumah itu uang ini agar ia tenang”. “Wahai
ayah, kami telah tenang dari pemilik rumah, namun kita sama sekali
tidak memiliki uang untuk membeli makanan”, kata Ahmad (kakak Habib
Ali). “Wahai anakku. Dia yang memberi uang untuk membayar sewa rumah
ini tentu akam memberi kita makan”, jawab ayah Habib Ali. Tak lama
kemudian ada surat dari Sultan Gholib bin Muhammad beserta uang 100
Qursyi. Rupanya Sultan ini salah satu murid ayah Habib Ali, “Wahai
anakku, perhatikanlah bagaimana Allah memudahkan rezeki kita” kata
ayah Habib Ali (Habib Muhammad bin Husein Alhabsyi.
Nasab Habib Ali bersambung kepada Rasulullah SAW, melalui jalur Sayiidina Husein, lengkap yaitu Habib Ali bin Muhammad bin Husein bin Abdullah bin Syeikh bin Abdullah bin Muhammad bin Husien bin Ahmad Shohibusy Sy’ib bin Muhammad Asghor bin Alwi bin Abubakar Al-Habsyi berlanjut terus sampai kepada Sayyidan Ali bin Abi thalib dan Sayyidatina Fatimah Az-Zahra. Penampilan Habib Ali, beliau berkulit sawo matang dilipitu cahaya. Perawakannya tinggi besar, kekar, berdada bidang, berperut kecil. Wajah bulat berisi, berdahi lebar, dan berjanggut pendek, camabnag beliau sedikit dan pendek.
Diantara guru-gurunya adalah kedua orangtuanya sendiri, Al-Allamah Sayid Umar bin Hasan Al-Hadad, Sayid Abdullah bin Husein bin Tohir, Sayid Abdullah bin Husein bin Muhammad, Syeikh Muhammad bin Ibrahim, Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur, Habib Ali bin Idrus bin Syihabudin, Imam Umar bin Abdurrahman bin Syahab, Habib Ahmad bin Muhammad Al-Mudhar (Imam para Saadah yang mulia), Habib Abubakar bin Abdullah Al-Athas dan banyak lagi lainnya. Diantara para gurunya tersebut Habib Abubakar bin Abdullah Al-Athas adalah guru yang paling berkesan bagi Habib Ali. Dalam kitab Tajul A’ros disebutkan Habib Abubakar bin Abdullah Al-Athas memelihara Habib Ali sejak dia masih berada di alam buthun (perut) hingga berada di alam zhuhur (dunia).
Ketika Habib Ali masih anak-anak terjadi kejadian aneh di Masjid Jami Qosam, pada waktu itu pakaian Habib Ali tertinggal di dalam masjid tersebut lalu Habib Ali bersama ibunya keluar untuk mengambil baju itu, sesampainya di Masjid, Habib Ali masuk sendiri ke dalam Masjid sedangkan ibunya menunggu di luar. Tetapi bajunya tidak ditemukan ditempatnya, tiba-tiba salah satu tiang masjid tersebut terbelah dan dari dalam tiang tersebut keluar seorang pemuda dengan jenggot tebal, berkulit putih berkata : “Wahai Ali, ambilah pakaianmu ini. Ketika melihatnya tertinggal, aku menyimpannya untukmu”. Kemudian Habib Ali segera mengambilnya. Pada usia 17 tahun pergi ke Mekah, dimana saat itu ayahnya berada di sana dalam rangka berdakwa, Habib Ali berada disana selama 2 tahun. Kemudian setelah itu beliau kembali ke Seiwun sebagai seorang alim dan ahli dalam pendidikan. Habib Ali pernah melakukan perjalanan ke Pulau Jawa selama 5 bulan pada tahun 1315 H atas perintah ayahnya.
Pada usia 37 tahun Habib Ali membangun Ribath (pondok pesantren) yang pertama di Hadramaut untuk para penuntut ilmu dari dalam dan luar kota. Ribath itu menyeruoai masjid dan terletak di sebelah timur halama Masjid Abdul Malik. Para orang yang tinggal dan menuntut ilmu di ribath tersebut biayanya beliau tanggung sendiri. Menurut Syeikh Salim bin Muhammad Syamaakh, seorang pencinta beliau, Habib Ali menanggung setiap hari selain para tamu adalah 150 orang; 50 orang di ribath, 50 orang di rumah dan 50 orang di Anisah. Adapun jumlah tamu setelah Isya adalah sekitar 15-20 orang. Selain itu Habib Ali juga membangun Masjid yang dinamakan Masjid Riyadh, pada waktu beliau berusia 44 tahun. Masjid berdampingan dengan dan bahkan menjadi satu dengan Ribath. Habib Ali berkata :”Dalam Masjid Riyadh terdapat cahaya, rahasia dan keberkahan Nabi Muhammad SAW.
Maulid Simtud Duror
Ketika Habib Ali berusia 68 tahun, beliau menulis kitab Maulid yang diberi nama Simtud Duror. Disebutkan bahwa Maulid ini dibacakan pertama kali di rumah beliau kemudian dirumah muridnya Habib Umar bin Hamid. Sebelum itu, Habib Ali selalu membaca Maulid Al-Hafidz Ad-Diba’I (Maulid Ad-Diba’i). Berkata Habib Ali tentang kitab Maulidnya ini : “Jika seseorang menjadikan kitab Maulidku ini sebagai salah satu wiridnya atau menghapalnya, maka rahasia (sir) Al-Habib SAW akan tampak pada dirinya. Aku yang mengarangnya dan mendiktekannya, namun setiap kali kitab ini dibacakan kepadaku, dibukakan bagiku pintu untuk berhubungan dengan Nabi SAW. Pijianku kepada Nabi SAW dapat diterima oleh masyarakat. Ini karena besarnya cintaku kepada Nabi SAW, bahkan dalam surat-surat ku, ketika aku menyifatkan Nabi SAW, Allah membukakan kepada susunan bahasa yang tidak ada sebelumnya. Ini adalah ilham yang diberikan Allah kepadaku. Dalam surat menyuratku ada beberapa sifat agung Nabi SAW, andaikan Nabhani membacanya, tentu ia akan memenuhi kitab-kitabnya dengan sifat-sifat agung itu”.
Munculnya Maulid Simtud Duror di zaman ini akan menyempurnakan kekurangan orang-orang yang hidup di zaman akhir. Sebab, pemberian Allah kepada orang-orang terdahulu yang tidak didapatkan oleh orang-orang zaman akhir tidaklah sedikit. Namun setelah maulid ini datang, ia menyempurnakan apa yang telah terlewatkan, dan Nabi SAW sangat menyukai maulid ini. Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi paman Habib Ali berkata “wahai anakku, perhatikanlah kumpulan orang ini. Pertemuan ini belum pernah dilakukan pada masa-masa dahulu. Dalam maulid ini, aku memiliki sebuah masyhad (pandangan/pemikiran). Dalam perang Tabuk, Nabi SAW dan para sahabat ra. tidak mempunyai cukup perbekalan. Beliau memerintahkan agar setiap orang membawa makanan apapun yang mereka miliki. Ada yang datang membawa sebutir kurma, ada yang membawa 2 butir kurma dan ada pula yang membawa segenggam gandum. Nabi SAW lalu mengumpulkan makanan tadi, lalu memberkatinya, kemudian beliau memerintahkan agar setiap sahabat mengambil sesukanya. Ada yang mengambil satu ember, ada yang mengambil satu karung penuh. Masing-masing sahabat akhirnya mendapatkan bekal yang banyak berkat do’a Nabi SAW. Begitu pula pertemuan Maulid ini. Setiap orang yang datang meap orang meliki sir. ada yang sedikit, ada yang banyak. Kemudian Nabi SAW memberkatinya, Seusai Maulid, setiap orang pulang membawa sir yang sangat banyak”.
Wafatnya Habib Ali
Pada tahun-tahun terakhir kehidupannya, penglihatan Habib Ali semakin kabur, dan dua tahun sebelum wafatnya, beliau kehilangan penglihatannya. Menjelang wafatnya, tanda yang pertama kali tampak adalah isthilam. Isthilam ini berlangsung selama 70 hari, hingga kesehatan beliau semakin buruk. Akhirnya, pada waktu Dhuhur, hari Minggu, 20 Rabiuts Tsani 1333 H, ruh beliau yang suci terbang menuju “Illiyyin. Dan pada waktu Ashar keesokkan harinya, jenasah beliau diantarkan ke kubur dalam suatu iring-iringan yang tidak ada awal dan akhirnya. Jenasah beliau dimakamkan di sebe.lah barat Masjid Riyadh. Habib Ali meninggalkan 5 orang anak, 4 putra dan 1 putri dari 2 orang wanita, yang pertama seorang wanita Qosam (bernama Abdullah) dan Syarifah Fatimah binti Muhammad Maulakhela (Muhammad, Ahmad, Alwi dan Khadijah). Diantara anaknya itu ada yang menetap di Solo, Indonesia, yaitu Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi (ayah dari Habib Anis bin Alwi AlHabsyi) Habib Ali mempunyai banyak murid, diantara adalah anak-anaknya sendiri, adkinya Habib Syeikh bin Muhammad, Sayid Abdullah bi Umar Asy-Syathri, Sayid Jakfar dan Abdul Qodir bin Abdurrahman Asseggaf, Sayid Muhammad bin Hadi bin Hasan Asseggaf, Sayid Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Asseggaf, Sayid Abdullah bin Alwi bin Zien AlHabsyi, sayid Ali bin Abdurrahman Al-Masyhur, Sayid Umar bin Tohir Al-Haddad dan banyak lagi yang tidak dapat disebutkan.
(Sumber Sekilas Tentang Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, karya Habib Novel Muhammad Alaydrus, Penerbit Putera Riyadi)
Nasab Habib Ali bersambung kepada Rasulullah SAW, melalui jalur Sayiidina Husein, lengkap yaitu Habib Ali bin Muhammad bin Husein bin Abdullah bin Syeikh bin Abdullah bin Muhammad bin Husien bin Ahmad Shohibusy Sy’ib bin Muhammad Asghor bin Alwi bin Abubakar Al-Habsyi berlanjut terus sampai kepada Sayyidan Ali bin Abi thalib dan Sayyidatina Fatimah Az-Zahra. Penampilan Habib Ali, beliau berkulit sawo matang dilipitu cahaya. Perawakannya tinggi besar, kekar, berdada bidang, berperut kecil. Wajah bulat berisi, berdahi lebar, dan berjanggut pendek, camabnag beliau sedikit dan pendek.
Diantara guru-gurunya adalah kedua orangtuanya sendiri, Al-Allamah Sayid Umar bin Hasan Al-Hadad, Sayid Abdullah bin Husein bin Tohir, Sayid Abdullah bin Husein bin Muhammad, Syeikh Muhammad bin Ibrahim, Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur, Habib Ali bin Idrus bin Syihabudin, Imam Umar bin Abdurrahman bin Syahab, Habib Ahmad bin Muhammad Al-Mudhar (Imam para Saadah yang mulia), Habib Abubakar bin Abdullah Al-Athas dan banyak lagi lainnya. Diantara para gurunya tersebut Habib Abubakar bin Abdullah Al-Athas adalah guru yang paling berkesan bagi Habib Ali. Dalam kitab Tajul A’ros disebutkan Habib Abubakar bin Abdullah Al-Athas memelihara Habib Ali sejak dia masih berada di alam buthun (perut) hingga berada di alam zhuhur (dunia).
Ketika Habib Ali masih anak-anak terjadi kejadian aneh di Masjid Jami Qosam, pada waktu itu pakaian Habib Ali tertinggal di dalam masjid tersebut lalu Habib Ali bersama ibunya keluar untuk mengambil baju itu, sesampainya di Masjid, Habib Ali masuk sendiri ke dalam Masjid sedangkan ibunya menunggu di luar. Tetapi bajunya tidak ditemukan ditempatnya, tiba-tiba salah satu tiang masjid tersebut terbelah dan dari dalam tiang tersebut keluar seorang pemuda dengan jenggot tebal, berkulit putih berkata : “Wahai Ali, ambilah pakaianmu ini. Ketika melihatnya tertinggal, aku menyimpannya untukmu”. Kemudian Habib Ali segera mengambilnya. Pada usia 17 tahun pergi ke Mekah, dimana saat itu ayahnya berada di sana dalam rangka berdakwa, Habib Ali berada disana selama 2 tahun. Kemudian setelah itu beliau kembali ke Seiwun sebagai seorang alim dan ahli dalam pendidikan. Habib Ali pernah melakukan perjalanan ke Pulau Jawa selama 5 bulan pada tahun 1315 H atas perintah ayahnya.
Pada usia 37 tahun Habib Ali membangun Ribath (pondok pesantren) yang pertama di Hadramaut untuk para penuntut ilmu dari dalam dan luar kota. Ribath itu menyeruoai masjid dan terletak di sebelah timur halama Masjid Abdul Malik. Para orang yang tinggal dan menuntut ilmu di ribath tersebut biayanya beliau tanggung sendiri. Menurut Syeikh Salim bin Muhammad Syamaakh, seorang pencinta beliau, Habib Ali menanggung setiap hari selain para tamu adalah 150 orang; 50 orang di ribath, 50 orang di rumah dan 50 orang di Anisah. Adapun jumlah tamu setelah Isya adalah sekitar 15-20 orang. Selain itu Habib Ali juga membangun Masjid yang dinamakan Masjid Riyadh, pada waktu beliau berusia 44 tahun. Masjid berdampingan dengan dan bahkan menjadi satu dengan Ribath. Habib Ali berkata :”Dalam Masjid Riyadh terdapat cahaya, rahasia dan keberkahan Nabi Muhammad SAW.
Maulid Simtud Duror
Ketika Habib Ali berusia 68 tahun, beliau menulis kitab Maulid yang diberi nama Simtud Duror. Disebutkan bahwa Maulid ini dibacakan pertama kali di rumah beliau kemudian dirumah muridnya Habib Umar bin Hamid. Sebelum itu, Habib Ali selalu membaca Maulid Al-Hafidz Ad-Diba’I (Maulid Ad-Diba’i). Berkata Habib Ali tentang kitab Maulidnya ini : “Jika seseorang menjadikan kitab Maulidku ini sebagai salah satu wiridnya atau menghapalnya, maka rahasia (sir) Al-Habib SAW akan tampak pada dirinya. Aku yang mengarangnya dan mendiktekannya, namun setiap kali kitab ini dibacakan kepadaku, dibukakan bagiku pintu untuk berhubungan dengan Nabi SAW. Pijianku kepada Nabi SAW dapat diterima oleh masyarakat. Ini karena besarnya cintaku kepada Nabi SAW, bahkan dalam surat-surat ku, ketika aku menyifatkan Nabi SAW, Allah membukakan kepada susunan bahasa yang tidak ada sebelumnya. Ini adalah ilham yang diberikan Allah kepadaku. Dalam surat menyuratku ada beberapa sifat agung Nabi SAW, andaikan Nabhani membacanya, tentu ia akan memenuhi kitab-kitabnya dengan sifat-sifat agung itu”.
Munculnya Maulid Simtud Duror di zaman ini akan menyempurnakan kekurangan orang-orang yang hidup di zaman akhir. Sebab, pemberian Allah kepada orang-orang terdahulu yang tidak didapatkan oleh orang-orang zaman akhir tidaklah sedikit. Namun setelah maulid ini datang, ia menyempurnakan apa yang telah terlewatkan, dan Nabi SAW sangat menyukai maulid ini. Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi paman Habib Ali berkata “wahai anakku, perhatikanlah kumpulan orang ini. Pertemuan ini belum pernah dilakukan pada masa-masa dahulu. Dalam maulid ini, aku memiliki sebuah masyhad (pandangan/pemikiran). Dalam perang Tabuk, Nabi SAW dan para sahabat ra. tidak mempunyai cukup perbekalan. Beliau memerintahkan agar setiap orang membawa makanan apapun yang mereka miliki. Ada yang datang membawa sebutir kurma, ada yang membawa 2 butir kurma dan ada pula yang membawa segenggam gandum. Nabi SAW lalu mengumpulkan makanan tadi, lalu memberkatinya, kemudian beliau memerintahkan agar setiap sahabat mengambil sesukanya. Ada yang mengambil satu ember, ada yang mengambil satu karung penuh. Masing-masing sahabat akhirnya mendapatkan bekal yang banyak berkat do’a Nabi SAW. Begitu pula pertemuan Maulid ini. Setiap orang yang datang meap orang meliki sir. ada yang sedikit, ada yang banyak. Kemudian Nabi SAW memberkatinya, Seusai Maulid, setiap orang pulang membawa sir yang sangat banyak”.
Wafatnya Habib Ali
Pada tahun-tahun terakhir kehidupannya, penglihatan Habib Ali semakin kabur, dan dua tahun sebelum wafatnya, beliau kehilangan penglihatannya. Menjelang wafatnya, tanda yang pertama kali tampak adalah isthilam. Isthilam ini berlangsung selama 70 hari, hingga kesehatan beliau semakin buruk. Akhirnya, pada waktu Dhuhur, hari Minggu, 20 Rabiuts Tsani 1333 H, ruh beliau yang suci terbang menuju “Illiyyin. Dan pada waktu Ashar keesokkan harinya, jenasah beliau diantarkan ke kubur dalam suatu iring-iringan yang tidak ada awal dan akhirnya. Jenasah beliau dimakamkan di sebe.lah barat Masjid Riyadh. Habib Ali meninggalkan 5 orang anak, 4 putra dan 1 putri dari 2 orang wanita, yang pertama seorang wanita Qosam (bernama Abdullah) dan Syarifah Fatimah binti Muhammad Maulakhela (Muhammad, Ahmad, Alwi dan Khadijah). Diantara anaknya itu ada yang menetap di Solo, Indonesia, yaitu Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi (ayah dari Habib Anis bin Alwi AlHabsyi) Habib Ali mempunyai banyak murid, diantara adalah anak-anaknya sendiri, adkinya Habib Syeikh bin Muhammad, Sayid Abdullah bi Umar Asy-Syathri, Sayid Jakfar dan Abdul Qodir bin Abdurrahman Asseggaf, Sayid Muhammad bin Hadi bin Hasan Asseggaf, Sayid Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Asseggaf, Sayid Abdullah bin Alwi bin Zien AlHabsyi, sayid Ali bin Abdurrahman Al-Masyhur, Sayid Umar bin Tohir Al-Haddad dan banyak lagi yang tidak dapat disebutkan.
(Sumber Sekilas Tentang Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, karya Habib Novel Muhammad Alaydrus, Penerbit Putera Riyadi)
Sejarah Maulid Al-Habsyi Simtud Duror
Mengenang Kisah Turunnya Simtud Durar
Allahumma Shalli `Alaa Sayyidina Muhammad wa Aalihi Washahbihi
Wasallim. Mawlid Simtud Durar merupakan kitab maulid yang cukup agung
yang dibaca oleh umat muslim di seluruh dunia khususnya yang dibawa dari
bani alawy yaitu para habaib yang berdakwah menyebar keseluruh dunia.
Banyak keistimewaan dan keberkahan dalam Mawlid ini. Berikut dikisahkan
dari buku biografi Habib Ali Al Habsy tentang penulisan kitab mulid ini.
Ketika usia Habib ‘Ali menginjak 68 tahun, ia menulis kitab maulid yang diberinya nama Simtud Durar. Pada hari Kamis 26 Shafar 1327 H, Habib ‘All mendiktekan paragraf awal dari Maulid Simtud Durar setelah memulainya dengan bacaan basmalah sampai dengan ucapan hamdalah, Ia kemudian memerintahkan agar tulisan itu dibacakan kepada beliau. Setelah pendahuluan yang berupa khutbah itu dibacakan, beliau berkata, “Insya Allah aku akan segera menyempurnakannya. Sudah sejak lama aku berkeinginan untuk menyusun kisah maulid. Sampai suatu hari anakku Muhammad datang menemuiku dengan membawa pena dan kertas, kemudian berkata kepadaku, ‘mulailah sekarang.’ Aku pun lalu memulai-nya.” Kemudian dalam majelis lain beliau mendiktekan maulidnya: Pada hari Selasa, awal Rabi’ul Awwal 1327 H, ia memerintahkan agar maulid yang telah beliau tulis dibaca. Beliau membukanya dengan Fatihah yang agung. Kemudian pada malam Rabu, 9 Rabi’ul Awwal, beliau mulai membaca maulidnya di rumah beliau setelah maulid itu disempurnakan. Beliau berkata, “Maulid ini sangat menyentuh hati, karena baru saja selesai diciptakan.” Pada hari Kamis, 10 Rabi’ul Awwal beliau menyempurnakan-nya lagi. Pada malam Sabtu, 12 Rabi’ul Awwal 1327 H, ia membaca maulid tersebut di rumah muridnya, Sayyid ‘Umar bin Hamid as-Saggaf.
Sejak hari itu Habib ‘Ali kemudian membaca maulidnya sendiri: Simtud Durar. Sebelumnya ia selalu membaca maulid ad-Diba’i. Maulid Simtud Durar yang agung ini kemudian mulai tersebar luas di Seiwun, juga di seluruh Hadhramaut dan tempat-tempat lain yang jauh. Maulid ini juga sampai ke Haramain yang mulia, Indonesia, Afrika, Dhafar dan Yaman. Disebutkan bahwa maulid Simtud Durar pertama kali dibaca di rumah Habib ‘Ali, kemudian di rumah muridnya, Habib ‘Umar bin Hamid. Para sahabat beliau kemudian meminta agar Habib ‘All membaca maulid itu di rumah-rumah mereka. Ia berkata kepada mereka, “Selama bulan ini, setiap hari aku akan membaca Maulid Simtud Durar di rumah kalian secara bergantian. Tanggal 27 Sya’ban 1327 H, Sayyid Hamid bin ‘Alwi Al-Bar akan pergi ke Madinah Al- Munawwarah membawa satu naskah maulid Simtud Durar yang akan dibacanya di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu (alaihi wa sallam akan merasa sangat senang. Habib Ali RA berkata: Dakwahku akan tersebar ke seluruh wujud. Maulidku ini akan tersebar ke tengah-tengah masyarakat, akan mengumpul- kan mereka kepada Allah dan akan membuat mereka dicintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika seseorang menjadikan kitab maulidku ini sebagai salah satu wiridnya atau menghafalnya, maka rahasia (sir) Al-Habib shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tampak pada dirinya. Aku yang mengarangnya dan mendiktekannya, namun setiap kali kitab itu dibacakan kepadaku, dibukakan bagiku pintu untuk berhubungan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pujianku kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat diterima oleh masyarakat. Ini karena besarnya cintaku kepada Nabi shallallahu alaihiwa sallam. Bahkan dalam surat-suratku, ketika aku menyifatkan Nabi shallaltahu ‘alaihi wa sallam, Allah SWT membukakan kepadaku susunan bahasa yang tidak ada sebelumnya. Ini adalah ilham yang diberikan Allah SWT kepadaku. Dalam surat menyuratku ada beberapa sifat agung Nabi shallaahu ‘alaihi wa sallam, andaikan Nabhani membacanya, tentu ia akan memenuhi kitab-kitabnya dengan sifat-sifat agung itu.
Munculnya Maulid Simtud Durar di zaman ini akan menyempurnakan kekurangan orang-orang yang hidup di zaman akhir. Sebab, tidak sedikit pemberian Allah SWT kepada orang-orang terdahulu yang tidak dapat diraih oleh orang-orang zaman akhir, tapi setelah maulid ini datang, ia akan menyempurnakan apa yang telah terlewatkan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyukai maulid ini.
Maulid Hari Kamis Akhir Bulan Rabi’ul Awwal
Suatu hari, Habib Abdul Qadir bin Muhammad bin Ali Al-Habsyi, cucu penulis Simtud Durar berpidato: “Wahai saudara-saudaraku. Marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang agung dan karunia yang besar ini. Allah SWT bermurah kepada kita sehingga kita dapat mengadakan acara agung yang dahulu diselenggarakan sendiri oleh penulis kitab Maulid ini, pendiri acara yang agung ini sejak 90 tahun yang lalu. Acara itu dihadiri oleh masyarakat dari berbagai daerah. Ada yang datang dari Hijaz, Dhafar, Sawahil dan negara-negara lainnya. Ada yang memperkirakan, jumlah orang yang menghadiri maulid tersebut sekitar 30.000 orang. Habib Ali membiayai keperluan mereka semua dan beliau juga mengurus jamuan dan kendaraan mereka. Sebab, saat itu tidak ada mobil atau pesawat. Semua orang datang dengan mengendarai onta dan kendaraan lain. Beberapa orang dan pegawai pemerintah mengkhawatirkan hal ini, “Wahai Habib Ali, manusia berdatangan dari segenap penjuru, bagaimana pembiayaannya” Habib Ali menjawab, “Kalian sambut saja mereka, bukalah rumah kalian untuk mereka, Allah nanti yang akan memberi mereka rezeki, bukan aku atau kalian. Bukalah rumah kalian untuk mereka, aku akan menyediakan segala sesuatunya kepada kalian. Jika ada yang kekurangan, pergilah ke tempat fulan dan fulan.” Beliau menyebutkan beberapa nama sehingga mereka dapat mendatangi orang-orang itu untuk mengambil semua yang diperlukan. Maulid yang agung ini dihadiri oleh para munshib, dai dan ulama yang berasal dari berbagai daerah. Mereka semua berkumpul sehingga turunlah madad, kebaikan, keberkahan dan nafahat yang agung. Para munshib datang dengan rombongan hadhrah mereka: ada yang dari Syihr, Ghail dan dari berbagai tempat lain. Kota Seiwun dipadati oleh manusia sebagaimana dikatakan oleh Habib ‘Ali: Seiwun memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh kota-kota lain. Menjelang hari Kamis terakhir bulan Rabi’ul Awwal, para buruh meminta ijin dari majikan mereka untuk tidak masuk kerja. Pernah seorang buruh ditanya mengapa harus libur, ia menjawab: Wahai Habib, ketahuilah, waktuku setahun berlalu begitu saja; sia-sia. Sekarang yang kumiliki tinggal dua hari ini saja, yaitu hari-hari pembacaan maulid. Nanti, ketika manusia telah berkumpul di lembah itu, Habib ‘Ali akan berdiri dan menyeru orang- orang ke jalan Allah SWT, mengajak mereka bertobat dan mendoakan mereka, maka semua dosa dari orang-orang yang berkumpul di situ pasti diampuni. ‘Ammi ‘Umar bin Hasan Al- Haddad berkata, “Perhatikanlah, bagaimana kaum awam dapat menemukan sir.” Wallahu A`lam.
Ketika usia Habib ‘Ali menginjak 68 tahun, ia menulis kitab maulid yang diberinya nama Simtud Durar. Pada hari Kamis 26 Shafar 1327 H, Habib ‘All mendiktekan paragraf awal dari Maulid Simtud Durar setelah memulainya dengan bacaan basmalah sampai dengan ucapan hamdalah, Ia kemudian memerintahkan agar tulisan itu dibacakan kepada beliau. Setelah pendahuluan yang berupa khutbah itu dibacakan, beliau berkata, “Insya Allah aku akan segera menyempurnakannya. Sudah sejak lama aku berkeinginan untuk menyusun kisah maulid. Sampai suatu hari anakku Muhammad datang menemuiku dengan membawa pena dan kertas, kemudian berkata kepadaku, ‘mulailah sekarang.’ Aku pun lalu memulai-nya.” Kemudian dalam majelis lain beliau mendiktekan maulidnya: Pada hari Selasa, awal Rabi’ul Awwal 1327 H, ia memerintahkan agar maulid yang telah beliau tulis dibaca. Beliau membukanya dengan Fatihah yang agung. Kemudian pada malam Rabu, 9 Rabi’ul Awwal, beliau mulai membaca maulidnya di rumah beliau setelah maulid itu disempurnakan. Beliau berkata, “Maulid ini sangat menyentuh hati, karena baru saja selesai diciptakan.” Pada hari Kamis, 10 Rabi’ul Awwal beliau menyempurnakan-nya lagi. Pada malam Sabtu, 12 Rabi’ul Awwal 1327 H, ia membaca maulid tersebut di rumah muridnya, Sayyid ‘Umar bin Hamid as-Saggaf.
Sejak hari itu Habib ‘Ali kemudian membaca maulidnya sendiri: Simtud Durar. Sebelumnya ia selalu membaca maulid ad-Diba’i. Maulid Simtud Durar yang agung ini kemudian mulai tersebar luas di Seiwun, juga di seluruh Hadhramaut dan tempat-tempat lain yang jauh. Maulid ini juga sampai ke Haramain yang mulia, Indonesia, Afrika, Dhafar dan Yaman. Disebutkan bahwa maulid Simtud Durar pertama kali dibaca di rumah Habib ‘Ali, kemudian di rumah muridnya, Habib ‘Umar bin Hamid. Para sahabat beliau kemudian meminta agar Habib ‘All membaca maulid itu di rumah-rumah mereka. Ia berkata kepada mereka, “Selama bulan ini, setiap hari aku akan membaca Maulid Simtud Durar di rumah kalian secara bergantian. Tanggal 27 Sya’ban 1327 H, Sayyid Hamid bin ‘Alwi Al-Bar akan pergi ke Madinah Al- Munawwarah membawa satu naskah maulid Simtud Durar yang akan dibacanya di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu (alaihi wa sallam akan merasa sangat senang. Habib Ali RA berkata: Dakwahku akan tersebar ke seluruh wujud. Maulidku ini akan tersebar ke tengah-tengah masyarakat, akan mengumpul- kan mereka kepada Allah dan akan membuat mereka dicintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika seseorang menjadikan kitab maulidku ini sebagai salah satu wiridnya atau menghafalnya, maka rahasia (sir) Al-Habib shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tampak pada dirinya. Aku yang mengarangnya dan mendiktekannya, namun setiap kali kitab itu dibacakan kepadaku, dibukakan bagiku pintu untuk berhubungan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pujianku kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat diterima oleh masyarakat. Ini karena besarnya cintaku kepada Nabi shallallahu alaihiwa sallam. Bahkan dalam surat-suratku, ketika aku menyifatkan Nabi shallaltahu ‘alaihi wa sallam, Allah SWT membukakan kepadaku susunan bahasa yang tidak ada sebelumnya. Ini adalah ilham yang diberikan Allah SWT kepadaku. Dalam surat menyuratku ada beberapa sifat agung Nabi shallaahu ‘alaihi wa sallam, andaikan Nabhani membacanya, tentu ia akan memenuhi kitab-kitabnya dengan sifat-sifat agung itu.
Munculnya Maulid Simtud Durar di zaman ini akan menyempurnakan kekurangan orang-orang yang hidup di zaman akhir. Sebab, tidak sedikit pemberian Allah SWT kepada orang-orang terdahulu yang tidak dapat diraih oleh orang-orang zaman akhir, tapi setelah maulid ini datang, ia akan menyempurnakan apa yang telah terlewatkan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyukai maulid ini.
Maulid Hari Kamis Akhir Bulan Rabi’ul Awwal
Suatu hari, Habib Abdul Qadir bin Muhammad bin Ali Al-Habsyi, cucu penulis Simtud Durar berpidato: “Wahai saudara-saudaraku. Marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang agung dan karunia yang besar ini. Allah SWT bermurah kepada kita sehingga kita dapat mengadakan acara agung yang dahulu diselenggarakan sendiri oleh penulis kitab Maulid ini, pendiri acara yang agung ini sejak 90 tahun yang lalu. Acara itu dihadiri oleh masyarakat dari berbagai daerah. Ada yang datang dari Hijaz, Dhafar, Sawahil dan negara-negara lainnya. Ada yang memperkirakan, jumlah orang yang menghadiri maulid tersebut sekitar 30.000 orang. Habib Ali membiayai keperluan mereka semua dan beliau juga mengurus jamuan dan kendaraan mereka. Sebab, saat itu tidak ada mobil atau pesawat. Semua orang datang dengan mengendarai onta dan kendaraan lain. Beberapa orang dan pegawai pemerintah mengkhawatirkan hal ini, “Wahai Habib Ali, manusia berdatangan dari segenap penjuru, bagaimana pembiayaannya” Habib Ali menjawab, “Kalian sambut saja mereka, bukalah rumah kalian untuk mereka, Allah nanti yang akan memberi mereka rezeki, bukan aku atau kalian. Bukalah rumah kalian untuk mereka, aku akan menyediakan segala sesuatunya kepada kalian. Jika ada yang kekurangan, pergilah ke tempat fulan dan fulan.” Beliau menyebutkan beberapa nama sehingga mereka dapat mendatangi orang-orang itu untuk mengambil semua yang diperlukan. Maulid yang agung ini dihadiri oleh para munshib, dai dan ulama yang berasal dari berbagai daerah. Mereka semua berkumpul sehingga turunlah madad, kebaikan, keberkahan dan nafahat yang agung. Para munshib datang dengan rombongan hadhrah mereka: ada yang dari Syihr, Ghail dan dari berbagai tempat lain. Kota Seiwun dipadati oleh manusia sebagaimana dikatakan oleh Habib ‘Ali: Seiwun memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh kota-kota lain. Menjelang hari Kamis terakhir bulan Rabi’ul Awwal, para buruh meminta ijin dari majikan mereka untuk tidak masuk kerja. Pernah seorang buruh ditanya mengapa harus libur, ia menjawab: Wahai Habib, ketahuilah, waktuku setahun berlalu begitu saja; sia-sia. Sekarang yang kumiliki tinggal dua hari ini saja, yaitu hari-hari pembacaan maulid. Nanti, ketika manusia telah berkumpul di lembah itu, Habib ‘Ali akan berdiri dan menyeru orang- orang ke jalan Allah SWT, mengajak mereka bertobat dan mendoakan mereka, maka semua dosa dari orang-orang yang berkumpul di situ pasti diampuni. ‘Ammi ‘Umar bin Hasan Al- Haddad berkata, “Perhatikanlah, bagaimana kaum awam dapat menemukan sir.” Wallahu A`lam.
HANTARKAN AKU KE SANA….Gejolak yang membuncah memenuhi dada ini…Bersama asa yang rindu mendalam…Dari hamba yang berlumur dosa dan kealpaan…Berharap dapat bersua dengan-Mu…Wahai Rabbul`alamiin…Dengan taubat ku berharap…Kuatkan jiwa ini mendatanginya…Kokohkan langkah kaki ini menempuhnya…Azzamkan niat ini dalam mencapainya…Ikhlaskan hati ini menjalaninya…Aku rindu…aku rindu…aku rindu…Rindu berjumpa dengan-Mu dalam SYAHADAH…Rindu bersua dengan-Mu dalam IMAN…Rindu bersama-Mu dalam TAUHID…Rindu indahnya hidup dalam naungan ridha-Mu…Syari`at ISLAM…Daulah ISLAM…Khilafah ISLAMDuhai Alloh yang tiada sekutu bagi-Mu…Hantarkanlah kerinduanku ini…Mudahkanlah…Lapangkanlah…Tuk raih cita-cita…KEMULIAAN HIDUP DALAM ISLAM, ATAUKESYAHIDAN DALAM PERJUANGANAku berharap termasuk yang Kau hantarkan….Ridhai dan kabulkanlah…Amien ya Alloh, ya Rabbal`alamiin…
Hikayat Senjakala
Dan langit melabur wajahnya
Semburat jingga merah
Berkawan awan-awan
Tersisa untukku, di ufuknya barat
Bukanlah itu semua di sini, sekali
Namun pesona bidadari merah jingga
dambangi hari-hari kemarin
di setiap ada waktu baik
Amboi, aduhai, suasana di pulau ini!
Senjakala itu bukanlah langka
Ialah penghiburan indah dari semesta
untuk setiap insan yang ada
Mungkin saja di masa-masa lalu
Para Datuk tiada bosan
menderas pantun dan sanjak
tentang para senjakala teramat indah
Seakan tak mau ku kembali, pulang
Sebab di sanalah, ku teringat
indahmu, cantikmu
sekarang dan seterusnya
Dan langit melabur wajahnya
Semburat jingga merah
Berkawan awan-awan
Tersisa untukku, di ufuknya barat
Bukanlah itu semua di sini, sekali
Namun pesona bidadari merah jingga
dambangi hari-hari kemarin
di setiap ada waktu baik
Amboi, aduhai, suasana di pulau ini!
Senjakala itu bukanlah langka
Ialah penghiburan indah dari semesta
untuk setiap insan yang ada
Mungkin saja di masa-masa lalu
Para Datuk tiada bosan
menderas pantun dan sanjak
tentang para senjakala teramat indah
Seakan tak mau ku kembali, pulang
Sebab di sanalah, ku teringat
indahmu, cantikmu
sekarang dan seterusnya
Rabu, 22 Oktober 2014
Pengertian Tasawwuf
Bab 1Pengertian Ilmu Tasawwuf :
Ilmu tasauf ialah ilmu yang menyuluh perjalanan seseorang mukmin di dalam membersihkan hati dengan sifat-sifat mahmudah atau sifat-sifat yang mulia dan menghindari atau menjauhkan diri daripada sifat-sifat mazmumah iaitu yang keji dan tercela .2. Ilmu tasawwuf bertujuan mendidik nafsu dan akal supaya sentiasa berada di dalam landasan dan peraturan hukum syariat Islam yang sebenar sehingga mencapai taraf nafsu mutmainnah .
3. Syarat-syarat untuk mencapai taraf nafsu mutmainah:
a) Banyak bersabar .
b) Banyak menderita yang di alami oleh jiwa .
4. Imam Al-Ghazali r.a. telah menggariskan sepuluh sifat Mahmudah / terpuji di dalam kitab Arbain Fi Usuluddin iaitu :
1) Taubat .
2) Khauf ( Takut )
3) Zuhud
4) Sabar.
5) Syukur.
6) Ikhlas.
7) Tawakkal.
8) Mahabbah ( Kasih Sayang )
9) Redha.
10) Zikrul Maut ( Mengingati Mati )
5. Dan Imam Al-Ghazali juga telah menggariskan sepuluh sifat Mazmumah / tercela / sifat keji di dalam kitab tersebut iaitu :
1) Banyak Makan
2) Banyak bercakap.
3) Marah.
4) Hasad.
5) Bakhil.
6) Cintakan kemegahan.
7) Cintakan dunia .
8) Bangga Diri.
9) Ujub ( Hairan Diri ).
10) Riya' ( Menunjuk-nunjuk ).
Bab 2: Khauf
1. Khauf bererti takut akan Allah s.w.t., iaitu rasa gementar dan rasa gerun akan kekuatan dan kebesaran Allah s.w.t. serta takutkan kemurkaanNya dengan mengerjakan segala perintahNya dan meninggalkan segala laranganNya.
2. Firman Allah s.w.t. yang bermaksud : "Dan kepada Akulah ( Allah ) sahaja hendaklah kamu merasa gerun dan takut bukan kepada sesuatu yang lain".
( Surah Al-Baqarah - Ayat 40 )
3. Seseorang itu tidak akan merasai takut kepada Allah s.w.t. jika tidak mengenalNya. Mengenal Allah s.w.t. ialah dengan mengetahui akan sifat-sifat ketuhanan dan sifat -sifat kesempurnaan bagi zatNya.
4. Seseorang itu juga hendaklah mengetahui segala perkara yang disuruh dan segala perkara yang ditegah oleh agama.
5. Dengan mengenal Allah s.w.t. dan mengetahui segala perintah dan laranganNya, maka seseorang itu akan dapat merasai takut kepada Allah s.w.t.
6. Rasa takut dan gerun kepada Allah s.w.t. akan menghindarkan seseorang itu daripada melakukan perkara yang ditegah oleh Allah s.w.t. dan seterusnya patuh dan tekun mengerjakan perkara yang disuruhnya dengan hati yang khusyuk dan ikhlas.
Bab 3 : Sifat Redha
1) Sifat redha adalah daripada sifat makrifah dan mahabbah kepada Allah s.w.t.
2) Pengertian redha ialah menerima dengan rasa senang dengan apa yang diberikan oleh Allah s.w.t. baik berupa peraturan ( hukum ) mahupun qada' atau sesuatu ketentuan daripada Allah s.w.t.
3) Redha terhadap Allah s.w.t terbahagi kepada dua :
- Redha menerima peraturan ( hukum ) Allah s.w.t. yang dibebankan kepada manusia.
- Redha menerima ketentuan Allah s.w.t. tentang nasib yang mengenai diri.
Redha menerima hukum-hukum Allah s.w.t. adalah merupakan manifestasi daripada kesempurnaan iman, kemuliaan taqwa dan kepatuhan kepada Allah s.w.t. kerana menerima peraturan-peraturan itu dengan segala senang hati dan tidak merasa terpaksa atau dipaksa.
Merasa tunduk dan patuh dengan segala kelapangan dada bahkan dengan gembira dan senang menerima syariat yang digariskan oleh Allah s.w.t. dan Rasulnya adalah memancar dari mahabbah kerana cinta kepada Allah s.w.t. dan inilah tanda keimanan yang murni serta tulus ikhlas kepadaNya.
Firman Allah s.w.t. yang bermaksud :
" Tetapi tidak ! Demi Tuhanmu, mereka tidak dipandang beriman hingga mereka menjadikanmu ( Muhammad ) hakim dalam apa yang mereka perselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak merasa sempit dalam hati mereka tentang apa yang engkau putuskan serta mereka menyerah dengan bersungguh - sungguh ". ( Surah An-Nisaa' : Ayat 65 )
Dan firman Allah s.w.t yang bermaksud :
" Dan alangkah baiknya jika mereka redha dengan apa yang Allah dan Rasulnya berikan kepada mereka sambil mereka berkata : ' Cukuplah Allah bagi kami , Ia dan Rasulnya akan berikan pada kami kurnianya ,Sesungguhnya pada Allah kami menuju ".
( Surah At Taubah : Ayat 59 )
Pada dasarnya segala perintah-perintah Allah s.w.t. baik yang wajib mahupun yang Sunnah ,hendaklah dikerjakan dengan senang hati dan redha. Demikian juga dengan larangan-larangan Allah s.w.t. hendaklah dijauhi dengan lapang dada .
Itulah sifat redha dengan hukum-hukum Allah s.w.t. Redha itu bertentangan dengan sifat dan sikap orang-orang munafik atau kafir yang benci dan sempit dadanya menerima hukum-hukum Allah s.w.t.
Firman Allah s.w.t. yang bermaksud :
" Yang demikian itu kerana sesungguhnya mereka ( yang munafik ) berkata kepada orang-orang yang di benci terhadap apa-apa yang diturunkan oleh Allah s.w.t. 'Kami akan tuntut kamu dalam sebahagian urusan kamu ',Tetapi Allah mengetahui rahsia mereka ". ( Surah Muhammad : Ayat 26 )
Andaikata mereka ikut beribadah, bersedekah atau mengerjakan sembahyang maka ibadah itu mereka melakukannya dengan tidak redha dan bersifat pura-pura. Demikianlah gambaran perbandingan antara hati yang penuh redha dan yang tidak redha menerima hukum Allah s.w.t. , yang mana hati yang redha itu adalah buah daripada kemurnian iman dan yang tidak redha itu adalah gejala nifaq.
Redha Dengan Qada' :
Redha dengan qada' iaitu merasa menerima ketentuan nasib yang telah ditentukan Allah s.w.t baik berupa nikmat mahupun berupa musibah ( malapetaka ). Didalam hadis diungkapkan bahawa di antara orang yang pertama memasuki syurga ialah mereka yang suka memuji Allah s.w.t. . iaitu mereka memuji Allah ( bertahmid ) baik dalam keadaan yang susah mahupun di dalam keadaan senang.
Diberitakan Rasulullah s.a.w. apabila memperolehi kegembiraan Baginda berkata :
" Segala puji bagi Allah yang dengan nikmatnya menjadi sempurnalah kebaikan ".
Dan apabila kedatangan perkara yang tidak menyenangkan , Baginda mengucapkan :
" Segala puji bagi Allah atas segala perkara ".
Perintah redha menerima ketentuan nasib daripada Allah s.w.t. dijelaskan didalam hadis Baginda yang lain yang bermaksud :
" Dan jika sesuatu kesusahan mengenaimu janganlah engkau berkata : jika aku telah berbuat begini dan begitu, begini dan begitulah jadinya. Melainkan hendakalah kamu katakan : Allah telah mentaqdirkan dan apa yang ia suka , ia perbuat ! " Kerana sesungguhnya perkataan : andaikata... itu memberi peluang pada syaitan " . (Riwayat Muslim)
Sikap redha dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah s.w.t. Ketika mendapat kesenangan atau sesuatu yang tidak menyenangkan bersandar kepada dua pengertian :
Pertama : Bertitik tolak dari pengertian bahawa sesungguhnya Allah s.w.t. memastikan terjadinya hal itu sebagai yang layak bagi Dirinya kerana bagi Dialah sebaik-baik Pencipta. Dialah Yang Maha Bijaksana atas segala sesuatu.
Kedua : Bersandar kepada pengertian bahawa ketentuan dan pilihan Allah s.w.t. itulah yang paling baik , dibandingkan dengan pilihan dan kehendak peribadi yang berkaitan dengan diri sendiri.
Sabda Rasulullah s.a.w. yang bermaksud :
" Demi Allah yang jiwaku ditangannya !Tidaklah Allah memutuskan sesuatu ketentuan bagi seorang mukmin melainkan mengandungi kebaikan baginya. Dan tiadalah kebaikan itu kecuali bagi mukmin . Jika ia memperolehi kegembiraan dia berterima kasih bererti kebaikan baginya , dan jika ia ditimpa kesulitan dia bersabar bererti kebaikan baginya ".
( Riwayat Muslim )
Bab 4 : Ikhlas
1. Sifat ikhlas ialah menumpukan niat bagi setiap ibadah atau kerja yang dilakukan semata-mata kerana Allah s.w.t. dan diqasadkan ( niat ) untuk menjunjung perintah semata-mata serta membersihkan hati dari dosa riya’ , ujub atau inginkan pujian manusia.
2. Firman Allah s.w.t. di dalam Al-Quran yang bermaksud :
“ Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah s.w.t. dengan mengikhlaskan ibadah kepadanya , lagi tetap teguh di atas tauhid dan supaya mereka mendirikan sembahyang dan memberi zakat dan yang demikian itulah agama yang benar “.
( Surah Al-Bayyinah – Ayat 5 )
3. Setiap pekerjaan yang dilakukan hendaklah dibersihkan daripada sesuatu tujuan yang lain daripada taat kepada perintah Allah s.w.t.
4. Hendaklah dibersihkan niat daripada sebab-sebab yang lain dari sifat-sifat yang keji ( sifat mazmumah ) seperti riya’ , ujub , inginkan kemasyhuran dan lain-lain lagi.
5. Dalam meninggalkan larangan Allah s.w.t. hendaklah diniatkan untuk taat semata-mata bukan kerana malu kepada makhluk atau sebagainya.
( Rujukan Kitab - Mengenal Ilmu Tasawwuf – Mohd Sulaiman bin Hj. Yasin )
Bab 5 : Taubat
1. Iaitu kembali daripada keburukan kepada kebaikan dengan beberapa syarat yang tertentu.
2. Firman Allah S.W.T. yang bermaksud :
” Dan mohonlah ampun kepada Allah , sesungguhnya ia Maha
Pengampun lagi Maha Mengasihani ”.
( Surah Al – Muzammil - Ayat 20 )
3. Syarat-syarat taubat adalah seperti berikut :
- Meninggalkan maksiat atau perkara dosa tersebut.
- Menyesal atas maksiat atau dosa yang telah dilakukan.
- Bercita-cita tidak akan mengulanginya lagi.
- Mengembalikan hak-hak makhluk yang dizalimi.
- Mengerjakan perkara-perkara fardhu yang telah luput.
5. Seseorang itu hendaklah bersungguh-sungguh memelihara diri daripada dosa iaitu dengan memelihara seluruh anggota daripada melakukan perkara-perkara yang ditegah oleh agama.
6. Beberapa faedah dan hikmah taubat iaitu:
- Menghidupkan jiwa yang resah kerana dosa.
- Mendekatkan diri kepada Allah S.W.T .
- Meningkatkan ketaqwaan diri.
- Membenteras tipu-daya syaitan yang selama ini memerangkap manusia
dengan berbuat dosa dan maksiat. - Memperolehi kemuliaan dan anugerah Allah S.W.T. dalam hidup di dunia
dan akhirat.
1. Ertinya meninggalkan dunia melainkan kadar yang patut daripadanya.
2. Zuhud yang sempurna ialah meninggalkan perkara lain selain Allah S.W.T.
3. Dunia ialah tiap-tiap perkara yang tidak dituntut oleh syarak dan ianya sebagai tempat bercucuk-tanam ( berbuat kebaikan dan amalan soleh ) untuk akhirat yang kekal abadi selama-lamanya.
4. Setiap manusia berkehendak kepada beberapa perkara bagi meneruskan hidup yang mana manusia berkehendak kepada makanan , pakaian , tempat tinggal dan lain-lain lagi.
5. Oleh yang demikian, sifat zuhud itu adalah mencari keperluan hidup sekadar yang boleh membantu ia untuk beribadah kepada Allah S.W.T.
( zuhud orang awam ).
Bab 7 : Sabar
- Iaitu menahan diri daripada keluh kesah pada sesuatu yang tidak disukai.
- Sifat sabar perlu ketika menghadapi tiga perkara berikut:
2. Menahan diri dalam mengerjakan segala perintah Allah.
3. Menahan diri dalam meninggalkan segala larangan Allah.
- Sifat sabar itu dipuji pada syara‘ kerana seseorang yang bersifat sabar menunjukkan ia beriman dengan sempurna kepada Allah, dan menunjukkan ia taat dan menjunjung segala perintah agama.
- Orang yang beriman kepada Allah mengetahui bahawa segala perkara yang berlaku ke atas drinya adalah kehendak Allah yang tidak dapat dielak lagi. Begitulah juga orang yang taat, tidak akan merasa susah dalam mengerjakan segala perintah Allah dan meninggalkan laranganNya.
- Iaitu mengaku dan memuji Allah atas nikmat yang diberi dan menggunakan segala nikmat itu untuk berbuat taat kepada Allah subhanahu wata‘ala.
- Tiap-tiap nikmat yang diberi oleh Allah subhanahu wata‘ala kepada makhlukNya adalah dengan limpah kurniaNya semata-mata, seperti nikmat kesihatan, kekayaan, kepandaian dan sebagainya. Oleh yang demikian, bersyukur dan berterima kasih atas nikmat-nikmat tersebut merupakan suatu kewajipan kepada Allah subhanahu wata‘ala.
- Setiap nikmat juga hendaklah disyukuri kerana orang yang tidak berterima kasih adalah orang yang tidak mengenang budi. Oleh itu, hendaklah digunakan nikmat-nikmat Allah itu untuk menambahkan ibadah kepada Allah dan sangatlah keji dan hina menggunakan nikmat-nikmat itu untuk menderhakai Tuhan yang memberi nikmat.
- Iaitu menetapkan hati dan berserah kepada Allah pada segala perkara yang berlaku serta jazam (putus) pada i`tiqad bahawa Allah subhanahu wata‘ala yang mengadakan dan memerintahkan tiap-tiap sesuatu.
- Berserah kepada Allah pada segala perkara itu hendaklah disertakan dengan ikhtiar dan usaha kerana Allah menjadikan sesuatu mengikut sebab-sebabnya, seperti dijadikan pandai kerana belajar, dijadikan kaya kerana rajin berusaha atau berjimat cermat dan sebagainya.
- Iaitu kasihkan Allah subhanahu wata‘ala dengan mengingatiNya pada setiap masa dan keadaan.
- Kasihkan Allah ialah dengan segera melakukan segala perintahNya dan berusaha mendampingkan diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah sunat dan bersungguh-sungguh menghindari maksiat serta perkara-perkara yang membawa kemarahanNya.
Bab 11 : Zikrulmawt
- Iaitu sentiasa mengingati mati dan sentiasa bersedia dengan amalan-amalan yang baik.
- Oleh kerana seseorang itu akan mati, maka hendaklah ia bersedia dengan amalan-amalan yang baik dan hendaklah ia memenuhkan tiap-tiap saat daripada umurnya itu dengan perkara yang berfaedah bagi akhiratnya kerana tiap-tiap perkara yang telah lalu tidak akan kembali lagi.
1. Syarrut ta‘am (banyak makan)
- Iaitu terlampau banyak makan atau minum ataupun gelojoh ketika makan atau minum.
- Makan dan minum yang berlebih-lebihan itu menyebabkan seseorang itu malas dan lemah serta membawa kepada banyak tidur. Ini menyebabkan kita lalai daripada menunaikan ibadah dan zikrullah.
- Makan dan minum yang berlebih-lebihan adalah ditegah walaupun tidak membawa kepada lali daripada menunaikan ibadah kerana termasuk di dalam amalan membazir.
- Iaitu banyak berkata-kata atau banyak bercakap.
- Banyak berkata-kata itu boleh membawa kepada banyak salah, dan banyak salah itu membawa kepada banyak dosa serta menyebabkan orang yang mendengar itu mudah merasa jemu.
- Ia bererti sifat pemarah, iaitu marah yang bukan pada menyeru kebaikan atau menegah daripada kejahatan.
- Sifat pemarah adalah senjata bagi menjaga hak dan kebenaran. Oleh kerana itu, seseorang yang tidak mempunyai sifat pemarah akan dizalimi dan akan dicerobohi hak-haknya.
- Sifat pemarah yang dicela ialah marah yang bukan pada tempatnya dan tidak dengan sesuatu sebab yang benar.
- Iaitu menginginkan nikmat yang diperolehi oleh orang lain hilang atau berpindah kepadanya.
- Seseorang yang bersifat dengki tidak ingin melihat orang lain mendapat nikmat atau tidak ingin melihat orang lain menyerupai atau lebih daripadanya dalam sesuatu perkara yang baik. Orang yang bersifat demikian seolah-olah membangkang kepada Allah subhanahu wata‘ala kerana mengurniakan sesuatu nikmat kepada orang lain.
- Orang yang berperangai seperti itu juga sentiasa dalam keadaan berdukacita dan iri hati kepada orang lain yang akhirnya menimbulkan fitnah dan hasutan yang membawa kepada bencana dan kerosakan.
- Iaitu menahan haknya daripada dibelanjakan atau digunakan kepada jalan yang dituntut oleh agama.
- Nikmat yang dikurniakan oleh Allah subhanahu wata‘ala kepada seseorang itu merupakan sebagai alat untuk membantu dirinya dan juga membantu orang lain. Oleh yang demikian, nikmat dan pemberian Allah menjadi sia-sia sekiranya tidak digunakan dan dibelanjakan sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah subhanahu wata‘ala.
- Lebih-lebih lagi dalam perkara-perkara yang menyempurnakan agama seperti zakat, mengerjakan haji dan memberi nafkah kepada tanggungan, maka menahan hak atau harta tersebut adalah suatu kesalahan besar di sisi agama.
- Iaitu kasihkan kemegahan, kebesaran dan pangkat.
- Perasaan inginkan kemegahan dan pangkat kebesaran menjadikan perbuatan seseorang itu tidak ikhlas kerana Allah.
- Akibat daripada sifat tersebut boleh membawa kepada tipu helah sesama manusia dan boleh menyebabkan seseorang itu membelakangkan kebenaran kerana menjaga pangkat dan kebesaran.
- Ia bermaksud kasihkan dunia, iaitu mencintai perkara-perkara yang berbentuk keduniaan yang tidak membawa sebarang kebajikan di akhirat.
- Banyak perkara yang diingini oleh manusia yang terdiri daripada kesenangan dan kemewahan. Di antara perkara-perkara tersebut ada perkara-perkara yang tidak dituntut oleh agama dan tidak menjadi kebajikan di akhirat.
- Oleh yang demikian, kasihkan dunia itu adalah mengutamakan perkara-perkara tersebut sehingga membawa kepada lalai hatinya daripada menunaikan kewajipan-kewajipan kepada Allah.
- Namun begitu, menjadikan dunia sebagai jalan untuk menuju keredhaan Allah bukanlah suatu kesalahan.
- Iaitu membesarkan diri atau berkelakuan sombong dan bongkak.
- Orang yang takabbur itu memandang dirinya lebih mulia dan lebih tinggi pangkatnya daripada orang lain serta memandang orang lain itu hina dan rendah pangkat.
- Sifat takabbur ini tiada sebarang faedah malah membawa kepada kebencian Allah dan juga manusia dan kadangkala membawa kepada keluar daripada agama kerana enggan tunduk kepada kebenaran.
- Iaitu merasai atau menyangkakan dirinya lebih sempurna.
- Orang yang bersifat ‘ujub adalah orang yang timbul di dalam hatinya sangkaan bahawa dia adalah seorang yang lebih sempurna dari segi pelajarannya, amalannya, kekayaannya atau sebagainya dan ia menyangka bahawa orang lain tidak berupaya melakukan sebagaimana yang dia lakukan.
- Dengan itu, maka timbullah perasaan menghina dan memperkecil-kecilkan orang lain dan lupa bahawa tiap-tiap sesuatu itu ada kelebihannya.
- Iaitu memperlihatkan dan menunjuk-nunjuk amalan kepada orang lain.
- Setiap amalan yang dilakukan dengan tujuan menunjuk-nunjuk akan hilanglah keikhlasan dan menyimpang dari tujuan asal untuk beribadah kepada Allah semata-mata.
- Orang yang riya’ adalah sia-sia segala amalannya kerana niatnya telah menyimpang disebabkan inginkan pujian daripada manusia.
Definisi
Tauhid Asma' was Shifat yaitu mengesakan Allah dengan cara menetapkan bagi Allah nama-nama dan sifat-sifat yang ditetapkan sendiri oleh-Nya (dalam firmannya) atau yang disebutkan oleh Rasul-Nya (dalam hadits), tanpa mengilustrasikan (Takyif), menyerupakan dengan sesuatu (Tamtsil), menyimpangkan makna (Tahrif), atau bahkan menolak nama atau sifat tersebut (Ta’thil).Landasan hukum
Dalil mengenai Tauhid Asma' dan Sifat dari al-Quran diantaranya ialah firman Allah yang artinya:- “Hanya milik Allah nama-nama yang paling baik, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran mengenai nama-nama-Nya.” (QS. al-A’raaf: 180)
- “Dan hanya bagi-Nya lah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ruum: 27)
- “Maka janganlah kalian mengadakan penyerupaan-penyerupaan bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 74)
- “Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, barangsiapa menghafalnya maka ia akan masuk surga.” (HR. at-Tirmidzi 3508)
- “Aku meminta kepada-Mu dengan segenap nama-Mu, yang telah Kau namakan diri-Mu dengannya, atau Kau turunkan dalam kitab-Mu, atau Kau ajarkan kepada salah satu hamba-Mu atau Kau simpan di dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu.” (HR. Ahmad 3712)
Faedah
Dalam Al-Qur'an disebutkan ayat yang artinyaLafal ayat “Tidak ada yang serupa dengan-Nya,” merupakan bantahan kepada orang yang menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk. Sedangkan lafal “Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat,” adalah bantahan kepada orang yang menafikan (mengingkari/menolak) adanya sifat bagi Allah."Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”—Asy-Syuura: 11
Kaidah tentang Nama dan Sifat Allah
Beberapa kaidah dalam memahami dan mengimani Tauhid Asma was Shifat- Nama dan sifat Allah adalah sesuatu yang tauqifiyah (hanya berdasarkan wahyu; tidak ditetapkan kecuali hanya berdasarkan lafal al-Quran dan as-Sunnah).
- Keyakinan tentang sifat Allah seperti keyakinan tentang Dzat-Nya. Maksudnya, sifat, dzat, dan perbuatan Allah tidak serupa dengan apapun. Karena Allah memiliki dzat secara hakiki dan dzat-Nya itu tidak serupa dengan dzat apapun selain-Nya, maka demikian pula sifat-sifat Allah yang ada di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Allah menyandang sifat-sifat tersebut secara hakiki dan tidak serupa dengan apapun.
- Semua nama Allah adalah baik dan sama sekali tidak ada yang buruk, karena nama-nama itu menunjukkan dzat yang memiliki nama tersebut yaitu Allah. Nama-nama itu menunjukkan sifat-sifat kesempurnaan yang tidak mengandung kekurangan sedikitpun dari segala sisi.
- Nama-nama Allah tidak terbatas pada jumlah tertentu. Nabi bersabda: “Aku meminta kepada-Mu dengan segenap nama-Mu, yang telah Kau namakan diri-Mu dengannya, atau Kau turunkan dalam kitab-Mu, atau Kau ajarkan kepada salah satu hamba-Mu atau Kau simpan di dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu.” (HR. Ahmad 3712)
Kaidah Dasar Oleh Imam Syafi'i
Dalam hal ini, kita harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai dengan apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya dan tidak menyelewengkannya sedikitpun. Imam Syafi’i meletakkan kaidah dasar ketika berbicara tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagai berikut: “Aku beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah dan sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah. Aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah”Macam sifat Allah
Sifat Tsubutiyyah
Sifat Tsubutiyyah adalah setiap sifat yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi diri-Nya di dalam Al-Qur-an atau melalui perkataan Rasulullah . Semua sifat-sifat ini adalah sifat kesempurnaan, serta tidak menunjukkan sama sekali adanya cela dan kekurangan. Contohnya: Hayaah (hidup): ‘Ilmu (mengetahui), Qudrah (berkuasa), Istiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy, Nuzuul (turun) ke langit terendah, Wajh (wajah), Yad (tangan) dan lain-lainnya. Sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut wajib ditetapkan benar-benar sebagai milik Allah sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya, berdasarkan dalil naqli dan ‘aqli. Sifat Tsubutiyyah ada dua macam, yaitu Dzaatiyah dan Fi’liyah.Sifat Dzaatiyyah adalah sifat yang senantiasa dan selamanya tetap ada pada Diri Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seperti, Hayaah (hidup), Kalam (berbicara): ‘Ilmu (mengetahui), Qudrah (berkuasa), Iradah (ke-inginan), Sami’ (pendengaran), Bashar (penglihatan), Izzah (kemuliaan, keperkasaan), Hikmah (kebijaksanaan): ‘Uluw (ketinggian, di atas makhluk): ‘Azhamah (keagungan). Dan yang termasuk dalam sifat ini adalah Sifat Khabariyyah seperti adanya wajah, yadan (dua tangan) dan ‘ainan (dua mata).
Sifat Fi’liyyah adalah sifat yang terikat dengan masyi-ah (kehendak) Allah Azza wa Jalla, seperti Istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy dan Nuzul (turun) ke langit terendah, atau pun datang pada hari Kiamat, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla: “Dan datanglah Rabb-mu, sedang Malaikat berbaris-baris.” (Al-Fajr: 22)
Suatu sifat bisa terpenuhi kedua-duanya (sifat dzaatiyyah-fi’liyyah) ditinjau dari dua segi, yaitu asal (pokok) dan perbuatannya. Seperti sifat Kalaam (pembicaraan), apabila ditinjau dari segi asal atau pokoknya adalah sifat dzaatiyyah karena Allah Azza wa Jalla selamanya akan tetap berbicara, tetapi jika ditinjau dari segi satu persatu terjadinya Kalaam adalah sifat fi’liyyah karena terikat dengan masyiah (kehendak), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara apa saja yang Dia kehendaki jika Dia menghendaki. Sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berfirman kepadanya: ‘Jadilah,’ maka terjadilah.” (Yaasiin: 82)
Sifat Salbiyyah
Sifat Salbiyyah adalah setiap sifat yang dinafikan (ditolak) Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi diri-Nya melalui Al-Qur-an atau sabda Rasul-Nya . Dan seluruh sifat ini adalah sifat kekurangan dan tercela, contohnya; maut (kematian), naum (tidur), jahl (kebodohan), nis-yan (kelupaan), ‘ajz (kelemahan, ketidakmampuan), ta’ab (kelelahan). Sifat-sifat tersebut wajib dinafikan (ditolak) dari Allah Azza wa Jalla, dengan disertai penetapan sifat kebalikannya secara sempurna. Misalnya, menafikan sifat maut (mati) dan naum (tidur) berarti telah menetapkan kebalikannya bahwasanya Allah adalah Dzat Yang Maha Hidup, menafikan jahl (kebodohan) berarti menetapkan bahwasanya Allah Maha Mengetahui dengan ilmu-Nya yang sempurna.Penyimpangannya Dari Dalil
Ketika berbicara tentang sifat-sifat dan nama-nama Allah yang menyimpang dari yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka kita telah berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu. Tentu yang demikian itu diharamkan dan dibenci dalam agama. Allah berfirman: “Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tampa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah (keterangan) untuk itu dan (mengharamkan) kalian berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu.” (QS. Al A’raf: 33).Rujukan
- ^ Berdasarkan perkataan Ibnu Taimiyyah: “Manhaj Salaf dan para Imam Ahlus Sunnah mengimani Tauhid al-Asma’ wash Shifat ialah dengan menetapkan apa-apa yang telah Allah tetapkan atas Diri-Nya dan telah ditetapkan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi-Nya, tanpa tahrif dan ta’thil serta tanpa takyif dan tamtsil. Menetapkan tanpa tamtsil, menyucikan tanpa ta’thil, menetapkan semua Sifat-Sifat Allah dan menafikan persamaan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya.”
- ^ yaitu sifat mendengar dan melihat, yang mana sifat mendengar dan melihatnya Allah berbeda dengan sifat mendengar dan melihatnya makhluk.
- ^ http://sunnah.or.id/wp-content/uploads/2013/03/Buletin-As-Sunnah-Edisi-12.rar
- ^ Allah berfirman yang artinya: “Hanya milik Allah nama-nama yang terbaik.” (QS. al-A’raaf: 180); “Dan Allah memiliki permisalan yang tinggi.” (QS. An Nahl: 60)
- ^ Lihat Kitab Syarah Lum’atul I’tiqad oleh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hal 36
Kalimah tauhid membawa pengertian mengetahui, berikrar, mengakui dan mempercayai bahawa sesungguhnya sembahan yang benar dan berhak disembah ialah Allah Subhanahu Wa Ta’ala (SWT) semata-mata. Selain daripada-Nya, sama sekali tidak benar dan tidak berhak disembah. Penghayatan kalimah itu meliputi berikrar dengan hati, menyatakan dengan lidah dan membuktikan dengan perbuatan.
Tauhid ar-Rububiyyah ( ) dan Tauhid al-Uluhiyyah ( )
Tauhid ar-Rububiyyah bermakna beri’tiqad bahawa Allah SWT bersifat Esa, Pencipta, Pemelihara dan Tuan sekelian alam. Tauhid al-Uluhiyyah pula bermakna menjadikan Allah SWT sahaja sebagai sembahan yang sentiasa dipatuhi.
Pengertian lanjut Tauhid ar-Rububiyyah
Antara pengertian kalimah Rabb ( ) ialah:
1. As-Sayyid (Tuan)
2. Al-Malik (Yang Memiliki)
3. Pencipta
4. Penguasa
5. Pendidik
6. Pengasuh
7. Penjaga
8. Penguatkuasa.
Allah jua bersifat mutlak
Manusia, jika dia bersifat seperti memiliki dan berkuasa, maka sifatnya itu sementara. Segala sesuatu di alam ini kepunyaan Allah. Apa yang dimiliki makhluk hanyalah bersifat pinjaman dan majaz (kiasan). Hanya Allah sebagai Rabb al-’Alamin (Rabb sekelian alam) dan mempunyai segala sifat kesempurnaan. Dengan sifat-sifat-Nya yang Maha Sempurna mengakibatkan seluruh makhluk bergantung kepada-Nya, memerlukan pertolongan-Nya dan berharap kepada-Nya.
Manusia, jika dia cerdik, bijak dan pandai, maka semuanya itu datang daripada Allah. Segala kekayaan dan penguasaan manusia bukanlah miliknya yang mutlak tetapi datang daripada Allah.
Manusia dijadikan hanya sebagai makhluk. Dia tidak memiliki apa-apa melainkan setiap kuasa, tindak-tanduk, gerak nafas dan sebagainya datang daripada Allah.
Allah, Dialah Maha berkuasa, mencipta, menghidup dan mematikan. Dia berkuasa memberikan manfaat dan mudarat. Jika Allah mahu memberikan manfaat dan kelebihan kepada seseorang, tiada siapa mampu menghalang atau menolaknya. Jika Allah mahu memberikan mudarat dan keburukan kepada seseorang seperti sakit dan susah, tiada siapa dapat menghalang atau mencegahnya.
Oleh itu hanya Allah sahaja ‘mutafarriq’, bermakna hanya Allah yang berkuasa untuk memberikan manfaat atau mudarat.
Firman Allah SWT:
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudaratan kepadamu, maka tiada yang dapat menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dialah Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu.”
(Al-An’am: 17)
Dengan sifat-sifat Allah tersebut, maka timbullah kesan tauhid kepada seseorang. Dia hanya takut kepada Allah, dan berani untuk bertindak melakukan sesuatu kerana keyakinannya kepada Allah.
Manusia bersifat fakir
Manusia di dunia ini bersifat fakir (tidak memiliki apa-apa), sebaliknya sentiasa memerlukan pertolongan Allah. Firman Allah SWT di dalam Al-Hadith Al-Qudsi:
“Hai manusia, kamu semua berada di dalam kesesatan kecuali mereka yang Aku berikan taufiq dan hidayah kepadanya. Oleh itu mintalah hidayah daripada-Ku.”
“Hai manusia, kamu semua lapar, kecuali mereka yang aku berikan makan, oleh itu mintalah rezeki daripada-Ku.”
“Hai manusia, kamu semua telanjang kecuali mereka yang Aku berikan pakaian. Oleh itu mohonlah pakaian daripada-Ku.”
Sifat fakir dan sifat kaya
Berhajatkan sesuatu adalah sifat semua makhluk. Manusia, haiwan, tumbuh-tumbuhan dan makhluk lain berhajatkan kepada Allah. Oleh itu semua makhluk bersifat fakir.
Allah Maha Kaya. Dia tidak berhajat kepada sesuatu. Jika manusia memiliki keyakinan ini maka dia akan sentiasa berbaik sangka terhadap Allah. Firman Allah SWT:
“Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah, dan Allah, Dialah Yang Maha Kaya (yang tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Fathir: 15)
Fakir adalah sifat yang zati bagi setiap makhluk ciptaan Allah. Kaya adalah sifat yang zati bagi al-Khaliq (Pencipta).
Dalil-Dalil Tauhid ar-Rububiyyah
Banyak dalil menunjukkan bahawa Allah itu Maha Esa dan tiada sesuatu menyamai Allah dari segi Rububiyyah. Antaranya:
1. Lihatlah pada tulisan di papan hitam, sudah pasti ada yang menulisnya. Orang yang berakal waras akan mengatakan bahawa setiap sesuatu pasti ada pembuatnya.
2. Semua benda di alam ini, daripada sekecil-kecilnya hinggalah sebesar-besarnya, menyaksikan bahawa Allah itu adalah Rabb al-’Alamin. Dia berhak ke atas semua kejadian di alam ini.
3. Susunan alam yang mengkagumkan, indah dan tersusun rapi adalah bukti Allah Maha Pencipta. Jika alam boleh berkata-kata, dia akan menyatakan bahawa dirinya makhluk ciptaan Allah. Orang yang berakal waras akan berkata bahawa alam ini dijadikan oleh satu Zat Yang Maha Berkuasa, iaitu Allah. Tidak ada orang yang berakal waras akan menyatakan bahawa sesuatu itu boleh berlaku dengan sendiri.
Begitulah hebatnya Ilmu Allah. Pandanglah saja kepada kejadian manusia dan fikirkanlah betapa rapi dan seni ciptaan-Nya.
Terdapat seribu satu macam ciptaan Allah yang memiliki sifat yang berbeza-beza antara satu sama lain. Semuanya menunjukkan bahawa Allah adalah Rabb yang Maha Bijaksana .
Fitrah mengakui Rububiyyah Allah
Berikrar dan mengakui akan Rububiyyah Allah adalah suatu perkara yang dapat diterima. Hakikat ini terlintas dalam setiap fitrah manusia. Meskipun seseorang itu kafir, namun jauh di lubuk hatinya tetap mengakui Rububiyyah Allah SWT. Firman Allah SWT:
“Dan jika kamu bertanyakan mereka tentang: Siapakah pencipta mereka? Nescaya mereka menjawab: Allah.” (Az-Zukhruf: 87)
“Dan jika kamu bertanyakan mereka tentang: Siapakah pencipta langit dan bumi? Nescaya mereka menjawab: Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa dan Yang Maha Mengetahui.”(Az-Zukhruf: 9)
Tidaklah susah untuk membuktikan Rububiyyah Allah SWT. Fitrah setiap insan adalah buktinya. Manusia yang mensyirik dan mengkufurkan Allah juga mengakui ketuhanan Allah Yang Maha Pencipta.
Al-Quran mengakui adanya Tauhid ar-Rububiyyah di dalam jiwa manusia
Al-Quran mengingatkan bahawa fitrah atau jiwa manusia memang telah memiliki rasa mahu mengakui Allah Rabb al-’Alamin. Firman Allah SWT:
“Berkata rasul-rasul mereka: Apakah terdapat keraguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi.” (Ibrahim: 10)
“Dan mereka mengingkarinya kerana kezaliman dan kesombongan (mereka) pada hal hati mereka meyakini (kebenaran)nya.”(An-Naml: 14)
Keengganan dan keingkaran sebahagian manusia untuk mengakui kewujudan Allah sebagai al-Khaliq (Yang Maha Pencipta), sebenarnya didorong oleh perasaan sombong, degil (‘inad) dan keras hati. Hakikatnya, fitrah manusia tidak boleh kosong daripada memiliki perasaan mendalam yang mengakui kewujudan al-Khaliq.
Jika fitrah manusia bersih daripada sombong, degil, keras hati dan selaput-selaput yang menutupinya, maka secara spontan manusia akan terus menuju kepada Allah tanpa bersusah payah untuk melakukan sebarang pilihan. Secara langsung lidahnya akan menyebut Allah dan meminta pertolongan daripada-Nya.
Telatah manusia, apabila berada di saat-saat genting, tidak akan terfikir dan terlintas sesuatu di hatinya kecuali Allah sahaja. Ketika itu segenap perasaan dan fikirannya dipusatkan kepada Allah semata-mata. Benarlah Firman Allah SWT:
“Dan apabila mereka dilambung ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan keikhlasan kepada-Nya, maka ketika Allah menyelamatkan mereka lalu sebahagian daripada mereka tetap berada di jalan yang lurus. Dan tiada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain golongan yang tidak setia lagi ingkar.” (Luqman: 32)
Sesungguhnya permasalahan mengenai kewujudan Allah adalah mudah, jelas, terang dan nyata. Kewujudan Allah terbukti dengan dalil yang banyak dan pelbagai.
Tauhid al-Uluhiyyah
Maksud Tauhid al-Uluhiyyah ialah kita mentauhidkan Allah dalam peribadatan atau persembahan. Allah SWT mengutuskan para rasul bertujuan menyeru manusia menerima Tauhid al-Uluhiyyah. Firman-firman Allah SWT yang berikut membuktikan hal tersebut:
“Dan Kami tidak mengutuskan seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahawasanya tiada tuhan melainkan Aku, maka kamu sekelian hendaklah menyembah Aku.” (Al-Anbiya’: 25)
“Dan sesungguhnya Kami telah utuskan pada setiap umat itu seorang rasul (untuk menyeru): Sembahlah Allah dan jauhilah Taghut.” (An-Nahl: 36)
“Dan sesungguhnya Aku telah utuskan Nuh (nabi) kepada kaumnya, lalu dia berkata (menyeru): Wahai kaumku, hendaklah kamu menyembah Allah, (kerana) sesekali tiada tuhan melainkan Dia.” (Al-Mu’minun: 23)
“Dan (Kami telah mengutuskan) kepada kaum ‘Ad saudara mereka Hud (nabi): Hai kaumku sembahlah Allah, sesekali tiada tuhan bagi kamu selain dari-Nya.” (Al ‘Araf: 65)
Cetusan rasa cinta kepada Allah
Menyembah atau beribadah kepada Allah dapat dilaksanakan apabila tercetus rasa cinta yang suci kepada Allah dan rela (ikhlas) menundukkan diri serendah-rendahnya kepada-Nya. Seseorang hamba itu disifatkan sedang menyembah Allah apabila dia menyerahkan seluruh jiwa raga kepada Allah, bertawakkal kepada Allah, berpegang teguh kepada ajaran-ajaran Allah, berpaut kepada ketentuan Allah, meminta (mengharap) serta memulang (menyerah) sesuatu hanya kepada Allah, berjinak-jinak dengan Allah dengan cara sentiasa mengingati-Nya, melaksanakan segala syariat Allah dan memelihara segala perlakuan (akhlak, perkataan dan sebagainya) menurut cara-cara yang diredhai Allah.
‘Ubudiyyah yang semakin bertambah
Pengertian ‘ubudiyyah (pengabdian) kepada Allah akan bertambah sebati dan hebat kesannya dalam kehidupan manusia apabila semakin mendalam pengertian dan keinsafannya tentang hakikat bahawa manusia itu terlalu fakir di hadapan Allah. Manusia sentiasa bergantung dan berhajat kepada Allah. Manusia tidak boleh terlupus daripada kekuasaan dan pertolongan Allah walaupun sekelip mata.
Begitu juga dengan cinta atau kasih (hubb) manusia kepada Allah dan rasa rendah diri (khudu’) manusia kepada Allah yang akan bertambah teguh apabila semakin mantap ma’rifat dan kefahamannya terhadap sifat-sifat Allah, Asma’ Allah al-Husna (sifat-sifat Allah yang terpuji), kesempurnaan Allah dan kehebatan nikmat kurniaan Allah.
Semakin terisi telaga hati manusia dengan pengertian ‘ubudiyyah terhadap Allah semakin bebaslah dia daripada belenggu ‘ubudiyyah kepada selain daripada Allah. Seterusnya dia akan menjadi seorang hamba yang benar-benar tulus dan ikhlas mengabdikan diri kepada Allah. Itulah setinggi-tinggi darjat yang dapat dicapai oleh seseorang insan.
Allah telah menggambarkan di dalam al-Qur’an keadaan para rasul-Nya yang mulia dengan sifat-sifat ‘ubudiyyah di peringkat yang tinggi. Allah telah melukiskan rasa ‘ubudiyyah Rasulullah SAW pada malam sewaktu wahyu diturunkan, ketika baginda berda’wah dan semasa baginda mengalami peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Firman Allah SWT:
“Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan.” (An-Najm: 10)
“Dan ketika berdiri hamba-Nya (Muhammad) untuk menyembah-Nya (beribadat), hampir saja jin-jin itu mendesak-desak mengerumuninya.” (Al-Jin: 19)
“Maha Suci Allah yang memperjalankan hambanya (Muhammad) pada suatu malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsa.” ( Al-Isra’: 1)
Tauhid al-Rububiyyah menghubungkan Tauhid al-Uluhiyyah
Seperti yang telah dinyatakan di atas, Tauhid al-Rububiyyah ialah mengakui keesaan Allah sebagai Rabb, Tuan, Penguasa, Pencipta dan Pengurnia secara mutlak. Tidak ada sekutu bagi-Nya di dalam Rububiyyah.
Sesungguhnya kesanggupan dan kesediaan manusia mentauhidkan Allah dari segi Rububiyyah dengan segala pengertiannya akan menghubung atau menyebabkan manusia mengakui Tauhid al-Uluhiyyah iaitu mengesakan Allah dalam pengabdian. Secara spontan pula manusia akan mengakui bahawa Allah sahaja layak disembah, selain daripada-Nya tidak layak disembah walau dalam apa bentuk sekalipun.
Al-Quran terlebih dahulu memperingatkan orang-orang musyrikin Quraisy agar mengakui Tauhid al-Rububiyyah. Apabila mereka menerima Tauhid al-Rububiyyah dan bersungguh-sungguh mengakuinya, maka terbinalah jambatan yang menghubungkan mereka dengan Tauhid al-Uluhiyyah. Hakikat ini jelas dan tidak boleh dicuai atau diselindungkan lagi. Firman Allah SWT:
“Apakah mereka mempersekutukan Allah dengan berhala-berhala yang tidak dapat menciptakan sesuatu apapun? Sedangkan berhala-berhala tersebut adalah buatan manusia.” (Al-A’raf: 191)
“Apakah (Allah) yang menciptakan segala sesuatu itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)? Maka mengapakah kamu tidak mengambil pengajaran?” (An-Nahl: 17)
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu serukan selain daripada Allah tidak dapat menciptakan seekor lalat, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu daripada mereka, tiada mereka dapat merebutnya kembali daripada lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah pula yang disembah.” (Al-Hajj: 73)
Ayat-ayat tersebut mengingatkan orang-orang musyrikin mengenai suatu hakikat yang nyata iaitu sembahan-sembahan mereka adalah lemah, malah tidak berkuasa untuk mencipta sesuatu walaupun seekor lalat. Jika lalat itu mengambil atau merampas sesuatu daru mereka, maka mereka tidak berkuasa untuk mendapatkannya kembali. Ini menunjukkan betapa lemah yang meminta dan lemah pula yang dipinta. Oleh itu akal yang sejahtera tidak boleh menerima penyembahan selain daripada Allah. Dalam peribadatan mereka tidak boleh mempersekutukan sesuatu dengan Allah. Allah adalah al-Khaliq Yang Esa. Selain daripada-Nya adalah lemah dan dhaif belaka.
Tuhan-tuhan palsu yang tidak memiliki apa-apa
Al-Quran menghujah dan mengingatkan orang-orang musyrikin bahawa apa yang mereka sembah selain daripada Allah tidak memiliki sebutir atom pun sama ada di bumi mahupun di langit. Malah sembahan mereka sama sekali tidak menyamai Allah walaupun sebesar zarah sama ada di bumi mahupun di langit. Allah tidak mempunyai apa-apa keperluan dengan tuhan-tuhan palsu yang mereka sembah. Jika mereka menyedari hakikat ini, mereka akan merasai kewajipan untuk beribadat dengan ikhlas kepada Allah semata-mata. Firman Allah SWT:
“Katakanlah: Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak memiliki satu saham pun dalam penciptaan langit dan bumi, dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.” (Saba’: 22)
Al-Quran mengakui bahawa orang-orang musyrikin mengiktiraf sebahagian daripada Rububiyyah Allah seperti Allah itu Pemilik langit serta bumi dan Allah itu Pengurus kejadian-kejadian di langit serta di bumi. Jika begitulah pengiktirafan mereka, sepatutnya mereka beriman dan menyembah Allah tanpa mempersekutukan-Nya. Firman Allah SWT:
“Katakanlah (kepada mereka): Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya jika kamu mengetahui? Mereka akan menjawab: Kepunyaan Allah. Katakanlah (kepada mereka): Apakah kamu tidak ingat?
“Katakanlah (kepada mereka): Siapakah yang mempunyai langit yang tujuh dan yang empunya ‘arasy yang besar? Mereka akan menjawab: Kepunyaan Allah. Katakanlah (kepada mereka): Apakah kamu tidak bertaqwa?
“Katakanlah (kepada mereka): Siapakah yang di tangan-Nya berada segala kekuasaan sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi daripada (azab)-Nya, jika kamu mengetahui? Mereka akan menjawab: Kepunyaan Allah. Katakanlah (kepada mereka): (Oleh yang demikian) dari jalan manakah kamu ditipu ?
“Sebenarnya Kami telah membawa kebenaran kepada mereka dan sesungguhnya mereka sebenarnya orang-orang yang berdusta.”
(Al-Mu’minun: 84-90)
Sains dan aqidah tauhid
Penemuan-penemuan dalam bidang sains dan teknologi mengenai alam buana, atom, manusia, tumbuh-tumbuhan dan pelbagai bidang industri telah berjaya menyingkap keindahan dan ketelitian ciptaan Allah. Penemuan-penemuan dan rekaan-rekaan baru itu menguatkan lagi ajaran aqidah tauhid dan meneguhkan lagi keimanan orang-orang mu’min. Hasil-hasil kajian itu menunjukkan kebesaran dan keluasan kudrat serta ilmu Allah. Sesungguhnya di sebalik kehalusan ciptaan dan keindahan sistem sejagat ini pasti ada Penciptanya Yang Maha Basar dan Maha Berkuasa.
Kedudukan tauhid dalam Islam
Keseluruhan ajaran Islam berasaskan tauhid. Keseluruhan kandungan al-Quran berlegar di atas tauhid. Kandungan ayat-ayat al-Quran meliputi pengkhabaran tentang Allah, sifat Allah, kejadian Allah, perbuatan Allah dan pentadbiran Allah.
Al-Qur’an membincangkan tentang al-amr (perintah) dan anbiya’ Allah (nabi-nabi Allah) kerana kedua-duanya ada kaitan dengan penciptaan dan kekuasaan Allah terhadap makhluk-Nya. Al-Qur’an menerangkan segala bentuk balasan baik (pahala) untuk mereka yang mentaati Allah, Rasul dan syariat-Nya. Semua ini untuk mengajak mereka menegakkan Tauhid al-Uluhiyyah dan Tauhid al-Rububiyyah.
Al-Qur’an menerangkan segala bentuk balasan siksa (dosa) untuk mereka yang tidak mematuhi syariat-Nya, menceritakan tentang keadaan orang-orang zaman dahulu yang telah menderhakai Allah. Semua ini untuk menjelaskan bahawa manusia perlu kembali kepada dasar tauhid dan ibadah kepada Allah.
Oleh itu tauhid adalah intipati atau asas Islam. Daripada tauhid terpancar segala sistem, perintah, hukum dan peraturan. Semua ibadat dan hukum dalam Islam bertujuan untuk menambah, memahir, menguat dan mengukuhkan lagi tauhid di dalam hati orang-orang mu’min.
Dengan tauhid seluruh dorongan manusia akan terbentuk
Dengan tauhid yang kuat, maka akan terbentukkan pelbagai dorongan yang ada dalam jiwa manusia. Dia akan takut hanya kepada Allah SWT dan berani mempertahankan keyakinannya seperti yang dipersaksikan dalam sirah Rasulullah dan para sahabat:
1. Rasulullah SAW pernah memerintahkan Ali RA agar tidur di atas katilnya sebelum baginda keluar berhijrah ke Madinah, sedangkan musuh Islam begitu giat mengintip. Namun Sayyidina Ali sanggup berbuat mengikut perintah Rasulullah SAW kerana beliau yakin atas Kehendak dan Kekuasaan Allah.
2. Khalid Ibn al-Walid RA pernah mengalami banyak calar dan luka pada badannya kerana berperang di jalan Allah. Namun dia tetap yakin dengan Kekuasaan Allah. Dia tetap meneruskan pertempuran melawan musuh.
3. Bilal bin Rabah RA sanggup diheret di padang pasir, dijemur di bawah kepanasan matahari dan diseksa dengan batu besar diletakkan di atas tubuhnya. Dia tetap mempertahankan keimanannya.
Kini, ramai manusia yang kehilangan keyakinan ini. Mereka masih yakin kepada yang lain daripada Allah. Mereka takut kepada kegagalan, ketua, kematian dan sebagainya.
Oleh itu menjadi kewajipan bagi pendakwah-pendakwah Islam untuk mengembalikan manusia kepada keyakinan yang betul.
Syahadah bahawa Nabi Muhammad itu Rasulullah
Syahadah merupakan teras Islam yang kedua. Syahadah ini menuntut manusia mengetahui, membenar dan menyakini dengan muktamad (dengan i’tiqad yang jazim serta pegangan yang putus) bahawa Nabi Muhammad SAW adalah Rasulullah serta membuktikannya dengan perkataan dan perbuatan sekaligus.
Pembuktian dengan perkataan ialah melafazkan kalimah syahadah itu dengan lidah. Pembuktian dengan perbuatan ialah menegakkan tingkah laku (tatasusila) dan seluruh tindak-tanduk yang bersesuaian dengan ajaran Nabi Muhammad SAW serta menuruti jejak langkah baginda.
Para rasul menegakkan tauhid
Pada dasarnya pengutusan para rasul bertujuan untuk mengesakan Allah dalam Tauhid al-Rububiyyah dan Tauhid al-Uluhiyyah. Dialah Tuhan Rabb al-’Alamin dan Tuhan para Rasul tersebut. Tiada tuhan yang sebenar melainkan Allah.
Tauhid al-Rububiyyah dan Tauhid al-Uluhiyyah menjelaskan kekuasaan Allah yang Maha Suci dalam pentadbiran urusan makhluk-Nya. Allah Pengurnia kemaslahatan dan kebaikan. Allah Penentu al-amr (perintah). Allah-lah Pengutus ar-Rasul untuk makhluk-Nya.
Manusia memerlukan rasul untuk mencapai kesempurnaan hidup
Tidak syak lagi untuk mencapai kesempurnaan hidup, manusia bukan sahaja berkehendakkan kepada makanan, pakaian, tempat berlindung dan keperluan-keperluan jasmani yang lain, bahkan manusia juga berkehendakkan sesuatu untuk memenuhi tuntutan roh. Dengan memenuhi tuntutan roh, manusia akan dapat mencapai taraf kesempurnaan sebagai manusia yang mulia dan berbeza dengan makhluk-makhluk yang lain.
Tugas para rasul adalah untuk memberitahu kepada manusia bahawa Allah
adalah enciptanya yang layak disembah dan Dialah yang meletakkan manusia di atas jalan lurus (sirat al-mustaqim). Dengan keyakinan ini barulah manusia dapat sampai ke jalan kebahagiaan dan kesempurnaan sebenar.
Manusia sendiri tidak dapat mengetahui perkara-perkara ghaib mengenai Pencipta dan sirat al-mustaqim dengan menggunakan kudrat dan akalnya yang lemah. Manusia kerap melakukan kesilapan. Untuk memikirkan mengenai Pencipta dan sirat al-mustaqim adalah di luar kemampuan akal manusia. Oleh itu pengutusan para rasul Allah menunjukkan kebijaksanaan-Nya dan merupakan rahmat yang paling besar untuk umat manusia. Para rasul Allah dilantik daripada golongan manusia sendiri supaya mereka dapat menggunakan kebiasaan dan bahasa yang dapat difahami oleh manusia. Seterusnya menyampaikan ajaran Allah, menjelaskan cara-cara untuk sampai kepada risalah-Nya dan menghuraikan cara mana untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Sungguh tidak patut sikap manusia sekiranya dia mengingkari Rasul Allah SWT. Firman Allah SWT:
"Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang sewajarnya ketika mana mereka berkata: Allah tidak menurunkan sesuatu pun untuk manusia.” (Al-An’am: 91)
Mengingkari kenabian Nabi Muhammad adalah kesalahan yang besar
Mengingkari kenabian Nabi Muhammad SAW setelah nyata dalil-dalil mengenai kebenaran dan kenabiannya bererti merendah dan melemahkan akal manusia. Sikap seperti ini merupakan keingkaran yang sangat buruk, kedegilan yang sangat tebal dan dosa yang sangat besar. Allah akan membalas sikap sebegini dengan balasan pedih.
Mengithbatkan (Mensabitkan) kenabian Muhammad SAW
Seseorang tidak boleh mendakwa bahawa dia nampak bintang-bintang di langit sekiranya dia mengingkari kewujudan matahari, sedangkan dia nampak matahari. Kalau dia mendakwa dan percaya juga, itu bertentangan dengan keimanannya terhadap apa yang dilihatnya. Begitu juga seseorang tidak boleh beriman kepada nabi-nabi lain sekiranya dia tidak mempercayai Nabi Muhammad SAW dan mengingkari kenabiannya.
Mengithbatkan (mensabitkan) kenabian Muhammad SAW bererti mensabitkan juga kenabian seluruh para anbiya’ AS sepertimana yang tersebut di dalam al-Quran.
Oleh itu mengingkari perutusan sebarang rasul bererti membohongi sebahagian daripada apa yang terkandung di dalam al-Quran dan mengingkari risalah Islam.
Kesan dan implikasi keimanan kepada Nabi Muhammad SAW
Mengimani Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasulullah bererti mengimani secara mutlak dan sempurna bahawa segala perkara yang dibawa dan dikhabarkan oleh baginda datang daripada Allah SWT. Implikasinya agar manusia wajib membenar dan mentaati segala suruhan dan larangan Nabi Muhammad SAW dengan penuh redha dan ikhlas, tanpa was-was, tanpa rasa keberatan, tanpa rasa sempit dan tanpa rasa terpaksa.
Manusia perlu taat sepenuhnya kepada ajaran Nabi Muhammad SAW tanpa menimbulkan suasana berhujah, berdebat dan berbincang, seolah-olah ajaran itu datang daripada seorang manusia biasa. Beriman dengan Nabi Muhammad SAW tidak boleh sama sekali dengan cara mempercayai atau mengambil sebahagian dan meninggalkan sebahagian daripada ajarannya. Sikap sebegini adalah berlawanan dengan natijah yang sepatutnya lahir daripada keimanan terhadap Nabi Muhammad SAW. Al-Quran kerap menyatakan nas-nas yang qat’i tentang implikasi keimanan kepada Nabi Muhammad SAW. Firman Allah SWT:
Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberikan rahmat.”
(Ali ‘Imran: 132)
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, nescaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kamu.” (Ali ‘Imran: 31)
“Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang kafir. (Ali ‘Imran: 32)
“Sesiapa yang mentaati Rasul maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” (An-Nisa’: 80)
“Sesungguhnya jawapan orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, lalu mereka berkata: Kami dengar dan kami patuh. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An-Nur: 51)
“Dan sesiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, nescaya Allah akan memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan sesiapa yang berpaling nescaya Dia akan mengazab kamu dengan azab yang pedih.” (Al-Fath: 17)
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah, dan apa yang dilarang bagimu maka tinggallah.” (Al-Hasyr: 7)
“Dan tidak patut bagi lelaki-lelaki mukmin dan bagi perempuan-perempuan Mu’minah, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan, ada pilihan lain bagi mereka tentang urusan mereka.” (Al-Ahzab: 36)
“Dan jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalilah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman dengan Allah dan Hari Akhirat.” (An-Nisa’: 59)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa sesuatu keberatan terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65)
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpakan cubaan atau ditimpakan azab yang pedih.” (An-Nur: 63)
Nas-nas seperti yang tersebut di atas sememangnya banyak di dalam al-Quran yang mengingatkan orang-orang beriman akan tanggungjawab mereka selepas beriman kepada Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul. Antaranya:
1. Nas-nas itu menyuruh manusia mentaati Nabi Muhammad SAW, kerana taatkan baginda bererti taatkan Allah SWT. Balasan orang yang mentaatinya ialah Syurga an-Na’im dan balasan orang yang mengingkarinya ialah Neraka.
2. Nas-nas itu menerangkan kepada orang-orang mukmin bahawa beriman kepada Nabi Muhammad SAW bererti mengikuti apa yang disuruhnya dan meninggalkan apa yang dilarangnya.
3. Nas-nas itu menyuruh orang Islam yang bertelingkah pendapat agar kembali kepada Allah dan Rasul-Nya serta redha menuruti hukum Rasulullah SAW.
Natijah logik
Semua yang dinyatakan dalam nas-nas al-Quran di atas adalah natijah logik bagi seseorang yang beriman dengan Nabi Muhammad SAW. serta menerima dengan rela akan kerasulannya. Suatu hal yang bertentangan dan tidak diterima akal jika seseorang itu beriman kepada Nabi Muhammad SAW tetapi menentang atau tidak menerima dengan rela hati perkara yang dibawanya dengan alasan, misalnya, tidak sesuai dengan sesuatu kepercayaan.
Umpama seorang yang telah menaruh kepercayaan kepada seorang doktor mahir, sudah tentu dia menerima nasihat doktor itu dan mengikuti cara pengubatannya. Dia akan mematuhi cara-cara memakan ubat dan segala pantang larangnya. Dia tidak boleh menentang atau membahaskan kata-kata doktor pakar itu. Jika kepatuhan dan kerelaan seseorang pesakit terhadap doktor adalah suatu yang dianggap lumrah dan munasabah, padahal doktor itu mungkin tersalah, maka bagaimana pula sikap seseorang terhadap Rasulullah yang diutuskan oleh Allah SWT, sedangkan Rasulullah adalah penghulu bagi segala doktor?
Kewajipan terhadap Rasulullah SAW
Kewajipan seorang muslim terhadap Rasulullah SAW ialah membenarkan semua yang dibawanya, mematuhi segala perintah dan meninggalkan segala larangannya. Seseorang muslim itu hendaklah menerima ajaran baginda dengan sempurna, ikhlas dan rela seperti yang telah dinyatakan.
Kewajipan-kewajipan lain ialah:
1. Mengasihi atau mencintai Rasulullah SAW lebih daripada mengasihi atau mencintai diri, anak, isteri, harta dan isi alam.
Sabda Rasulullah SAW:
“Tidak sempurna iman seseorang kamu sehinggalah dia sanggup menjadikan aku lebih dikasihi daripada dirinya, anaknya, hartanya dan manusia seluruhnya.”
Tanda manusia yang benar-benar mengasihi Rasulullah SAW ialah mengikuti baginda dengan penuh ikhlas. Dia segera mengerjakan apa yang disukai atau dikasihi baginda. Itulah tanda-tanda manusia yang benar-benar kasihkan Rasulullah SAW. Firman Allah SWT:
“Mereka bersumpah kepada kamu dengan nama Allah untuk mencari keredhaanmu, padahal Allah dan Rasul-Nya itulah yang lebih patut mereka cari keredhaannya jika mereka itu adalah orang-orang yang beriman.”
(At-Taubah: 62)
2. Menghormati dan memuliakan Rasulullah SAW sama ada ketika baginda masih hidup atau telah wafat. Firman Allah SWT:
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian yang lain.” (An-Nur: 63)
Rasulullah SAW bukanlah seperti manusia biasa. Baginda adalah Nabi dan Rasul. Rasulullah diutuskan untuk seluruh manusia. Maka wajarlah manusia membesar dan memuliakan baginda sehingga apabila memanggil baginda hendaklah memanggil: “Ya Rasulullah”, “Ya Nabiyullah”, “Ya Habibullah” dan sebagainya.
Antara cara menghormati dan memuliakan Rasulullah SAW ialah tidak mendahului baginda semasa bercakap dan tidak meninggikan suara. Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu meninggikan suaramu lebih daripada suara Nabi dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras sepertimana kerasnya suara sebahagian daripada kamu kepada sebahagian yang lain, supaya tidak terhapus pahala amalan kamusedangkan kamu tidak menyedarinya. Sesungguhnya orang-orang merendahkan suara di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka untuk bertaqwa. Bagi mereka keampunan dan pahala yang besar.” (Al-Hujurat: 1-3)
Menghormati dan memuliakan Nabi perlu terus berlanjutan sehingga selepas kewafatan baginda. Seseorang Muslim tidak boleh mengangkat suara di dalam Masjid an-Nabawi atau di sisi maqam baginda. Seseorang muslim wajib bersopan, bersungguh-sungguh dan redha ketika mendengar hadith baginda yang mulia. Seseorang muslim tidak boleh menafi atau menentang hadith-hadith baginda dengan pendapat-pendapat atau fikiran-fikiran yang karut dan menyesatkan. Jika seseorang muslim itu mendengar: “Qala Rasulullah S.A.W. (Sabda Rasulullah SAW), maka hendaklah dia memahami bahawa sabda baginda tidak boleh dibohongi oleh manusia. Oleh itu ia tidak boleh ditentang, bahkan hendaklah didengar, difahami dan diamalkan.
3. Bersungguh-sungguh menghindarkan apa-apa yang boleh menyakiti Rasulullah Nabi SAW sama ada sedikit atau banyak. Menyakiti Rasulullah SAW adalah haram dan berdosa. Malah, menyakitinya boleh menyebabkan seseorang itu terkeluar daripada Islam. Firman Allah SWT:
“Dan tidak boleh kamu menyakiti hati Rasulullah.” (Al Ahzab: 53)
“Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu bagi mereka azab yang pedih.” (At-Taubah: 61)
Termasuk dalam pengertian menyakiti Rasulullah SAW ialah menghina atau mencerca para isteri baginda yang mulia. Isteri-isteri Rasulullah adalah “Ibu Orang-Orang Yang Beriman”. Begitu juga, dianggap menyakiti Rasulullah, sekiranya seseorang menghina atau mencerca “Ahl al-Bait” baginda.
4. Membaca salawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW. Firman Allah SWT:
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman bersalawatlah kamu kepada Nabi dan ucaplah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)
Rujukan: Dr. Abdul Karim Zaidan, Usul Ad-Da’wah.
Langganan:
Postingan (Atom)